Alasan Penolakan RUU Pornografi

October 3, 2008

Diaz Hendropriyono
Washington, DC

Pengesahan RUU Pornografi yang rencananya akan di lakukan pada 23 September lalu akhirnya kembali tertunda karena masih menimbulkan pertentangan di masyarakat. RUU yang pada mulanya berisi 11 bab dan 93 pasal sebelum akhirnya dikurangi menjadi 8 bab dan 44 pasal ini, sebenarnya sudah mulai dibahas pada tahun 1997, dan di wacanakan lagi pada awal 2006 dengan nama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Pendukung RUU, seperti PKS, berpendapat bahwa RUU ini sangat diperlukan untuk menyelamatkan moral bangsa dari penyakit pornografi yang dianggap sudah mencapai tingkat yang mengerikan. Kenyataannya, RUU yang sudah di uji publikan di Kalimantan Selatan, Maluku, Bali, DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan—dan sudah di bahas dengan pemerintah, khususnya Menkum HAM, Menag, Menteri Pemberdayaan Perempuan, dan Menkominfo—hanya akan menimbulkan kerugian yang berkepanjangan.

Pertama, kalangan perempuan seperti Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) dan Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (APIK) menilai bahwa RUU tersebut memposisikan perempuan sebagai objek pornografi, dan mengancam terjadinya kriminalisasi terhadap perempuan.

Kedua, RUU ini terlalu mencampuri privasi individu. Misalkan, seusai pasal 6, pasangan suami istri tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi dan menyimpan pornografi. Dan anehnya, menurut anggota panja RUU Pornografi dari FPDI-P, Eva Kusuma Sundari, sesuai pasal 30, pelanggaran teresebut dapat dihukum penjara dan denda yang melebihi pasal UU illegal logging dan korupsi.

Ketiga, Komponen Rakyat Bali (KRB) menganggap bahwa RUU Pornografi mengancam khas dan budaya daerah, serta tidak menghormati hak agama dan pluralitas Bhineka Tunggal Ika. Walaupun telah di khususkan bahwa penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan seni dan budaya (pasal 14), banyak kalangan masih menilai pasal tersebut bertentangan dengan pasal lainnya yang harus dibenahi. Misalkan, Institut Perempuan (IP) menilai definisi pornografi sebagai sesuatu yang “membangkitkan hasrat seksual” (pasal 1) sangatlah subjektif dan menimbulkan banyak interpretasi. Karena itu, masih ada kekhawatiran akan adanya larangan terhadap tarian tradisional.

Keempat, RUU tersebut dapat menimbulkan tindakan anarki, karena di perbolehkannya peran serta masyarakat dalam mencegah perbuatan, penyebaran dan pengunaan pornografi, sesuai tertulis pada draft pasal 21. Lebih spesifik, ketua Dewan Adat Papua (DAP) Fadhal Alhamid khawatir timbulnya peluang benturan antarkelompok masyarakat jika RUU ini disahkan. Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan Indonesia (GATKI) juga khawatir akan adanya tindakan saling menghakimi antar warga dan peluang bagi warga untuk menjadi polisi moralbagi warga lainnya.

Kelima, Dewan Kesenian Surakarta (DKS) berpendapat bahwa RUU Pornografi bertentangan dengan nilai dan semangat UUD 1945. Konstitusi Indonesia tidaklah diskriminatif atau mengkriminalisasi, dan menjunjung tinggi nilai kenakeragaman bangsa. Komnas HAM juga khawatir jika negara justru akan melanggar kewajibannya melindungi HAM yang dijamin oleh UUD 1945. Apalagi, Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik yang jelas melarang diskriminasi agama, warna kulit, status sosial, dan jenis kelamin.

Keenam, pembahasan RUU Pornografi bukan hanya memecah belah parpol di DPR, tetapi juga Indonesia secara keseluruhan. Selain masyarakat Bali, Yogyakarta, dan Sulawesi Utara, paling tidak NTT dan Papua juga menolak keras RUU tersebut, khususnya karena kekhawatiran akan adanya larangan terhadap tarian daerah yang diperagakan oleh perempuan yang tidak menggunakan busana pada bagian atas termasuk penangkapan penarinya. Terlebih, di Sulawesi Utara dan Bali sudah ada ancaman wacana untuk melepaskan diri dari NKRI jika RUU tersebut disahkan.

Ketujuh, pengesahan RUU Pornografi dinilai percuma karena substansi yang ada di RUU tersebut sudah diatur oleh beberapa UU yang ada. Menurut Ketua Umum PDS Ruyandi Hutasoit, sudah ada beberapa UU yang mengatur pornografi, seperti Pasal 282 KUHP tentang Kesusilaan, UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU 32/2002 tentang Penyiaran, dan UU 40/1999. Selain itu, ada UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU 8/1992 tentang Perfilman, dan Peraturan Pemerintah 7/1994 tentang Lembaga Sensor Film, yang juga mengatur masalah teresebut.

Kedelapan, RUU Pornografi di tolak keras oleh berbagai kalangan sehingga upaya untuk mengesahkan RUU tersebut akan terus mengalami kesulitan dan menjadi sia-sia. Bahkan, beberapa organisasi Islam seperti Hizbut Tahrir dan Forum Umat Islam mengungkapkan beberapa kelemahan yang ada di RUU tersebut, sehingga mereka menilai bahwa RUU Pornografi memang harus di format ulang.

Beberapa kerugian diatas menunjukkan bahwa RUU Pornografi sebenarnya memang tidak perlu untuk disahkan menjadi UU. Lebih baik, substansi peraturan yang sudah ada, seperti KUHP, UU, dan PP, dapat di perjelas, di revisi dan di tegakkan untuk mengatasi masalah pornografi. Saran kedua, jika memang nantinya dinyatakan bahwa pornografi masih merupakan suatu masalah yang harus di atur lebih lanjut, pengaturannya sebaiknya pada tingkat daerah saja, dan bukan tingkat nasional. Dengan demikian, peraturan akan dibuat dengan menghormati keanekaragaman, adat-istiadat, dan budaya daerah.
Terakhir, sebenarnya moral bangsa yang rusak akibat pornografi dapat dibenahi tanpa mekanisme hukum yang berkesan terlalu mencampuri urusan pribadi, yaitu dengan memperbaiki, mempertegas, atau memperbanyak pengajaran agama di sekolah dan di lingkungan keluarga.

Diaz Hendropriyono's Interview - Presidential Debate



Diaz Hendropriyono, PhD Candidate at the Center for Public Administration and Policy at Virginia Tech, Commenting on the Presidential Debate in the US and Indonesia. Broadcast on Voice of America and Radio Trijaya Jakarta 104.6 FM on October 10, 2008