Indonesia Should Do More in Gaza

January 17, 2009
Diaz Hendropriyono
Washington, DC

Following the expiration of the six-month Egyptian-brokered cease-fire agreement, Hamas militantsclaiming that Israel had violated the truce - began to fire rockets at Israel although no significant damage was reported.

Israeli Defense Minister Ehud Barak stated that its government has engaged in anwar with Hamas, and this war is thought to be one of the deadliest military operations since Israel's occupation of Gaza in 1967.

Hamas has controlled the Gaza Strip since ousting the moderate Fatah faction of Palestinian President Mahmoud Abbas in June last year.

Israel went further by prohibiting news organizations from entering Gaza, an ironic move for a country that prides itself as the healthiest democracy in the Middle East.

While the United States maintains that Israel has the right to self-defense and blames Hamas for provoking the conflict, Muslim nations around the world condemn Israel over the deadly attacks. Reacting to Israel's military offensive, UN Secretary-General Ban Ki-Moon asked for an immediate cease-fire, and requested Israel allow humanitarian supplies and aid workers into Gaza.

In Indonesia, several Islamic groups plan to send volunteers to Gaza. For example, the Prosperous Justice Party (PKS) has prepared 20 individuals to provide medical assistance to Gazans. Muhammadiyah, which recently signed a medical cooperation agreement with Israel's first-response organization, will send six surgeons as well as medical and logistics supplies.

With a more aggressive plan, the Islamic Defenders Front (FPI), announced it would recruit as many as 1,500 mujahideen to be sent to defend Gaza and fight Israel.
During a recent protest in front of the US Embassy in Jakarta, FPI's coordinator Awit Masyuri also said that each of these "fighters" would receive training for a week before being deployed to the battlefield (Dec. 31, 2008, Kompas).

FPI's secretary-general Ahmad S. Lubis added,should be in good physical conditionand be ready to die - and are provided with a one-way ticket until we defeat Israel" (Dec. 29, 2008, The Straits Times). This view is also supported by Hizbut Tahrir Indonesia, an international pan-Islamist party, whose spokesman, Farid Wajri, has urged all Muslim countries to send not only medical aid but also fighters.

While sympathizing with the Palestinians and persistently supporting their rights and sovereignty is a must, sending Indonesian "volunteers" to fight alongside the Gazans may not be the best option for Indonesians.

Indonesians need to be careful in fighting for the Palestinians in Gaza. A few countries, such as the United States, Canada, Japan and the EU, designate Hamas as a terrorist group, while the UK and Australia classify its military wing as such. Thus, defending the Hamas-controlled Gaza might be interpreted by some as defending a terrorist group.

Furthermore, the mujahideen to-be should realize that their participation could put them at risk of losing their Indonesian citizenship. The citizenship law No. 12/2006 Article 23(e) and (f) could be used to strip them of their nationality, as their involvement may be interpreted as serving in a foreign force.

Finally, by deploying Indonesians to the battleground, we would put these men in harm's way, as they may lose their lives fighting a military equipped with some of the world's most advanced weapons and technology.

In this case, the Indonesian government needs to take a more active role in urging these volunteers not to leave for Gaza. It also needs to be more involved in helping the Gazans, and to assure Indonesians that the Palestinians are being helped.
Indonesia should do more than just urge the UN Security Council to issue a resolution to halt Israeli strikes, or send US$1 million in cash and Rp 2 billion (US$179,000) worth of medical aid to Gaza.

The writer is Ph.D. Candidate at the Center for Public Administration and Policy, Virginia Tech University

Taken from:
http://www.thejakartapost.com/news/2009/01/17/indonesia-should-do-more-gaza.html

RI Harus Lebih Aktif di Gaza

15 Januari 2009
Diaz Hendropriyono
Washington, DC

Pada pertengahan Desember, Israel memulai serangan udara besar-besaran—terbesar sejak perang Arab-Israel tahun 1967—terhadap Hamas di Gaza. Paling tidak 1000 orang Palestina terbunuh, termasuk sekitar 300 anak-anak dan 92 wanita, lebih dari 4,400 orang terluka dan puluhan ribu warga sipil kehilangan tempat tinggal.

Serangan Israel menghancurkan banyak rumah penduduk, markas polisi, apotik, kantor pemerintah, sekolah PBB, masjid, sebuah Universitas Islam, dan ratusan terowongan bawah tanah yang digunakan Hamas untuk menyelundupkan makanan, bensin, termasuk senjata dan bahan peledak ke Gaza. Untuk memperkuat invasi, Israel mengerahkan 6.500 pasukan cadangan untuk melawan kelompok yang berhasil mengambil alih Gaza pada pertengahan 2007 dari kelompok moderat Fatah, kubu Presiden Palestina Mahmoud Abbas.

Selama penyerangan, selain melarang koresponden asing masuk ke Gaza, Israel juga telah mempersulit pemberian akses masuk tim medis Palang Merah Internasional untuk menolong korban sipil di Gaza. Selain itu, Human Rights Watch melaporkan bahwa dalam serangan daratnya, Israel menggunakan zat kimia kontroversial yang mengandung fosfor putih—yang juga pernah digunakan saat melawan Hizbullah—dimana jika terkena manusia, akan menimbulkan luka bakar yang mengerikan.

Sementara itu, Hamas terus melayangkan beberapa roket al-Qassam dan Katyusha ke wilayah Israel, termasuk ke daerah yang sebelumnya diperkirakan tidak akan pernah terjangkau, seperti Ashdod, 33 km dari Tel Aviv, dan Beersheba, 42 km dari Gaza. Paling tidak serangan Hamas telah menewaskan 10 tentara Israel dan 3 warga sipil.

Sementara Amerika Serikat menyalahkan Hamas sebagai pemicu konflik, demo anti-Israel terus terjadi di berbagai kota dunia, termasuk London, Oslo, Madrid, Karachi, Baghdad, Damascus, Manila, Athena, Paris dan banyak kota lainnya. Di beberapa kota besar di Indonesia, unjuk rasa juga terus berlanjut sejak penyerangan Israel. Di Jakarta, Hizbut Tahrir Indonesia menggerakan ribuan massa di Monas, ratusan di Kedubes AS, puluhan ribu di Surabaya, dan puluhan lainnya di Makassar. Bahkan, di Palu, aksi demo ratusan mahasiswa sampai merusak restoran cepat saji produk Amerika KFC. Tak ketinggalan, ratusan anak TK dan SD di Demak berdoa bersama guru mereka untuk keselamatan anak-anak Palestina sebelum melakukan longmarch. Keadaan serupa juga ditemui di Kediri dan Surabaya dimana demonstrasi di hadiri oleh ratusan murid SD Muhammadiyah.

Saat ini, beberapa kelompok Islam di tanah air telah mempersiapkan relawan unutk membantu warga Gaza. Bekerja sama dengan MER-C, Persis Bandung telah menyeleksi 50 personil tim medis. Begitu juga dengan Muhammadiyah,—yang dilaporkan pernah mempunyai kesepakatan kerja sama di bidang kesehatan dengan organisasi layanan kesehatan Israel—Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP) dan Partai Keadilan dan Sejahtera (PKS) yang ingin berpartisipasi dalam misi kemanusiaan di Gaza.

Bahkan, beberapa kelompok Islam berencana untuk mengirimkan relawan untuk berperang melawan Israel di Gaza. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) wilayah Sumatera Barat mengaku sudah merekrut sekitar 60 orang yang siap bertempur. Forum Pembela Islam (FPI) mengumumkan akan merekrut 5.000 relawan, termasuk merekrut kembali mujahedin yang gagal berangkat ke Palestina empat tahun lalu. Sejauh ini, FPI/Komando Laskar Jihad (KLI) meng-klaim sudah mendapatkan 1.000 orang yang siap mati syahid dan sudah mengikuti pelatihan selama satu minggu. Dan walau hanya terkumpul Rp. 50 juta, Keluarga Muslim Bogor (KMB) juga terus membuka pendaftaran untuk merekrut relawan mujahedin.

Bersimpati terhadap warga Palestina dan mendukung hak dan kedaulatan mereka adalah suatu keharusan. Sayangnya, mengirim relawan mujahedin untuk bertempur membela warga Gaza melawan agresi Israel bukanlah suatu opsi yang terbaik.

Relawan mujahedin harus lebih berhati-hati sebelum memutuskan untuk berperang membela warga Gaza. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan bahkan Uni Eropa, telah menetapkan Hamas sebagai organisasi teroris (Inggris dan Australia hanya menetapkan sayap militer Hamas sebagai teroris). Dengan demikian, membela Gaza, daerah yang di kuasai oleh Hamas, dapat diartikan oleh beberapa pihak sebagai tindakan membela teroris.

Selain itu, relawan-relawan Indonesia harus mengerti bahwa mereka bisa kehilangan warga negara Indonesia-nya karena berpartisipasi dalam peperangan di Palestina. Dalam hal ini, bukanlah tidak mungkin UU Kewarganegaraan No.12/2006 Pasal 23 (e) dan (f) dapat diartikan secara umum dan luas untuk menarik kewarganeraan para relawan yang ikut berjuang membela negara asing.

Lebih lanjut, kemungkinan para relawan jihad bisa masuk ke Gaza, saat ini, cukup kecil, mengingat Yordania dan Mesir membuka jalur ke Gaza hanya untuk pengiriman obat-obatan dan makanan. Terakhir, keberangkatan para relawan jihad Indonesia membawa resiko yang sangat besar untuk mereka sendiri. Mereka akan menghadapi suatu angkatan militer yang mempunyai salah satu persenjataan tercanggih di dunia.

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia harus terus melarang para jihadis untuk pergi ke Gaza. Selain itu, pemerintah juga harus lebih pro-aktif dalam kebijakannya di Palestina. Agaknya, meminta Dewan Keamanan PBB agar mengeluarkan resolusi untuk menghentikan serangan Israel, mengirim US$ 1 juta cash, dan Rp. 2 milyar dalam bentuk obat-obatan, tidaklah cukup untuk meyakinkan warga Indonesia bahwa warga Gaza mendapatkan pertolongan dan keamanan yang layak.