Bisakah Indonesia Jadi Negara "Superpower"?

26 November 2009

Hadianto Wirajuda dan Diaz Hendropriyono

Secara geopolitik, Indonesia dikelilingi oleh beberapa negara besar dan kuat. Di bagian utara, terdapat Tiongkok, dengan status ekonomi terbesar ketiga di dunia, dengan pertumbuhan diprediksi melampaui 10% pada akhir tahun ini. Di bagian barat laut, terdapat India, negara nuklir dengan kekuatan militer yang sangat besar dan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.

Sedikit di bawah Indonesia ada Australia, middle power, yang dikategorikan oleh IMF sebagai advanced economy. Beberapa kota besar di negara itu mendapat julukan sebagai most liveable cities di dunia. Merujuk pada kapasitas yang kita miliki, apakah masih ada harapan dan optimisme bagi Indonesia untuk dapat menjadi negara adidaya?

Dalam bukunya yang berjudul Indonesia's Foreign Policy Under Suharto, Leo Suryadinata (1996), mengemukakan beberapa faktor yang menguatkan kredibilitas Indonesia di forum internasional. Pertama, secara geografis, Indonesia adalah negara terbesar di ASEAN. Secara demografis, Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk terbesar di dunia, setelah Tiongkok, India, dan AS. Kedua, Indonesia merupakan emerging economy di Asia dan mendapat sebutan "Macan Asia." Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu sekitar 7% per tahun dan jika bukan karena krisis finansial pada 1997-1999, ekonomi Indonesia mungkin akan jauh lebih baik. Ketiga, kekuatan militer Indonesia merupakan yang terkuat di bagian tenggara (southeast) Asia. Berbagai kapasitas tersebut merupakan regional entitlement bagi Indonesia, sebagaimana diutarakan oleh Michael Leifer, profesor ternama ilmu hubungan internasional.

Era Soeharto telah berlalu. Sekarang, kita berada pada era yang baru. Sebuah era yang menuntut kemakmuran ekonomi dan kebebasan politik berjalan berdampingan; era yang menuntut kepemimpinan yang kuat dan tidak hanya bersandar pada besaran geografis negara; era yang menuntut toleransi terhadap perbedaan pendapat dan keyakinan di masyarakat. Secara geografis dan demografis, negara kita tidak banyak berubah sejak zaman Orde Baru. Indonesia masih merupakan salah satu negara terpadat di dunia dan yang terbesar di ASEAN.

Sekitar 230 juta dari 570 juta penduduk ASEAN tinggal di Indonesia. Secara ekonomi, ketahanan bangsa kita dalam menghadapi krisis finansial, saat ini, menempatkan Indonesia sebagai satu-satunya negara dari Asia Tenggara sebagai peserta forum ekonomi bergengsi dunia, G-20.

Percaya Diri

Dari persepsi politik, Indonesia merupakan pendukung kuat perkembangan politik di ASEAN. Seperti kita ketahui, forum ASEAN selama ini lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi dibandingkan perkembangan politik. Ini bukanlah suatu keanehan, bahwa ASEAN, tidak seperti Uni Eropa, berintikan negara-negara dengan sistem politik yang tidak seragam. Ada junta militer hingga demokrasi penuh.

Berkaca dari kenyataan tersebut, tidaklah mudah untuk mempromosikan kebebasan politik dalam konteks ini. Tetapi, perkembangan demokrasi yang sehat, sejak 1999, telah menyuntikkan rasa percaya diri Indonesia untuk mempromosikan signifikansi kebebasan berpolitik melalui Bali Concord II pada tahun 2003. Inisiatif yang disebut sebagai ASEAN political development, bukan democratization, ini pada akhirnya berhasil dimaktubkan dalam ASEAN Charter yang mulai berlaku pada Desember 2008.

Terlepas dari perdebatan apakah Indonesia harus meratifikasi piagam tersebut mengingat masih banyak ruang kosong yang harus diperbaiki, Indonesia tetap bersikeras mendukung inisiatif tersebut. Hal ini didasarkan pada kenyataan, tanpa sebuah piagam yang mengikat semua, ASEAN tetap akan menjadi organisasi yang longgar, yang akan dapat mengurangi komitmen negara-negara anggotanya dalam upaya pengembangan demokrasi di kawasan.

Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk mengingat posisi Indonesia sebagai pihak yang pernah menolak nilai-nilai demokrasi Barat, karena dianggap bertentangan dengan Asian values.

Kapasitas lainnya mencakup status Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah AS dan India, dan negara Islam terbesar di dunia. Indonesia adalah tempat di mana Islam, modernitas dan demokrasi dapat tumbuh kembang secara bersama-sama. Namun, Indonesia juga masih harus menghadapi beberapa tantangan. Termasuk di dalamnya adalah konflik horizontal di kalangan masyarakat. Tetapi, hal ini jangan sampai menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan terhadap dominasi fundamentalisme di Indonesia, sehingga dapat mengancam karakter ketoleransian bangsa ini.

Seperti dikemukakan oleh Ramage dan MacIntyre dalam laporan ASPI, berjudul Seeing Indonesia as a Normal Country, ketakutan akan fundamentalisme dan antipluralisme di Indonesia adalah keliru karena mayoritas masyarakat Muslim Indonesia adalah kaum moderat. Di samping itu, kita juga harus ingat bahwa tidak satu pun negara di dunia ini yang dapat dijadikan model sebagai demokrasi yang sempurna. Bahkan, di AS sekalipun, konflik kesukuan dan ras masih terjadi.

Di samping itu, korupsi masih merupakan masalah untuk Indonesia. Berdasarkan laporan dari Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih setara dengan negara korup seperti Ethiopia dan Uganda. Tetapi, kesuksekan kita dalam memberantas korupsi telah memperbaiki indeks tersebut sebanyak 37% sejak 2002. Namun, kekisruhan kepastian hukum, yang terjadi saat ini, jelas menuntut ketegasan pemerintah agar tidak berlarut-larut, yang mana dikhawatirkan dapat memengaruhi tingkat kepuasan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.

Kebebasan Berbicara

Dalam hal kebebasan berbicara, Reporters Without Borders (RWB), sebuah organisasi nonpemerintah internasional yang fokusnya pada kebebasan pers dan advokasi jurnalis, melaporkan bahwa kebebasan tersebut menurun sejak 2002 (peringkat 57), membuat kita setingkat dengan Guinea dan Mauritania, di mana kebebasan bicara tidak begitu dijamin. Pada Feburari 2008, misalnya, Bersihar Lubis, editor Koran Tempo, harus berhadapan dengan tuntutan hukum karena mengutip sebuah pendapat seorang tokoh yang kemudian diinterpretasikan pendapat tersebut sebagai penghinaan terhadap sebuah institusi hukum di Indonesia. Akan tetapi, ranking Indonesia mengalami perbaikan dari posisi 111 ke posisi 100 setahun terakhir.

Kemiskinan di tengah masyarakat juga merupakan tantangan bagi siapa pun yang memegang tampuk kepemimpinan di negeri ini, walaupun tercatat bahwa pemerintahan SBY berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia beberapa tahun terakhir, masing-masing ke tingkat 14% dan 9%.

Sebagai penutup, bukanlah sebuah mimpi belaka untuk bercita-cita bahwa Indonesia dapat menjadi negara superpower melihat potensi yang kita miliki, yang juga dimiliki oleh sebuah negara adidaya secara garis besarnya. Tetapi, untuk melihat Indonesia menepati posisi itu, kita masih harus banyak bersabar.

Tidak ada yang instan dalam proses ini -bandingkan usia kita dalam berdemokrasi yang baru sekitar 11 tahun dengan AS yang sudah mencapai lebih dari 230 tahun. Tetapi, jika kita pelihara dan kembangkan potensi ini, paling tidak Indonesia bisa menjadi superpower di wilayah Asia, walau agaknya masih sulit untuk menjadi world super- power.

Pertanyaan besarnya adalah bagaimana kita mengembangkan potensi ini menjadikan kekuatan yang sesungguhnya, sehingga kita dapat berdiri sejajar dengan (atau malah di atas) Tiongkok, India, Rusia, dan AS? Ini adalah pertanyaan dan pekerjaan rumah besar yang menjadi tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia.

Hadianto Wirajuda adalah kandidat PhD dari LSE London School of Economics and Political Science, UK. Diaz Hendropriyono adalah kandidat PhD dari Virginia Tech University, USA. Keduanya adalah pemrakarsa Youth Initiative for Indonesia's Democracy and Development (YIDD)

Diambil dari Situs: http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=12086

It May Not Be Soon, But We Can Become an Asian Superpower


22 November 2009


Hadianto Wirajuda and Diaz Hendropriyono
London-Washington

It is a fact that we live in a world surrounded by superpowers. In the Far East, we have China, the third-largest economy and whose economic growth is expected to surpass 10 percent in the fourth quarter of this year.

A little bit further west is the nuclear-armed India, one of the world's largest military forces and among the world's fastest-growing economies. Over to the south, we are the immediate neighbor of Asia's middle power, Australia, considered an advanced economy by the IMF, and whose major cities rank highly on quality-of-life surveys. Above all, we are a world citizen with the US and EU as the only superpowers.

Now, let's reflect internally on our capacity as a world citizen. With what we have, is there a reason for the optimism to see Indonesia as a world superpower?

In his 1996 book Indonesia's Foreign Policy Under Soeharto, Suryadinata argues on several factors that underpin Indonesia's international credibility. Writing at the time of the New Order regime, he makes the following points:

First, Indonesia is geographically the largest country in ASEAN. Demographically, Indonesia earns a nod as the world's fourth most populous country, after China, India and the United States.

Second, Indonesia is considered an emerging Asian economy, hence the epithet "Asian tiger". Indonesia's economy grew sustainably at an average 7 percent annually in the 1990s. If not for the Asian financial crisis in 1997/1998, our economic growth, let alone political development, would have been a different story.

Third, Indonesia's military is arguably the strongest in Southeast Asia.

It is for all these reasons that Michael Leifer labeled the republic "regional entitlement".

The Soeharto regime is now part of Indonesian history. We are now in a new league, one that demands economic prosperity on one hand and political freedom on the other; a league that demands leadership as opposed to land mass; and a league that demands coexistence of values in society.

Indonesia's size remains unchanged from what it was during Soeharto's period. It is still the biggest in Southeast Asia and still the world's fourth most populous country. More than 230 million of the 570 million people in ASEAN live in this country. Economically, Indonesia's resistance to the current global economic crisis has made it the only member of the G20 from Southeast Asia.

On the political front, Indonesia is a strong proponent of ASEAN's political development. As we all know, ASEAN's cooperation largely emphasizes the promotion of economic growth, while political integration remains a peripheral agenda. This is not surprising, considering that ASEAN, unlike the EU, consists of different political systems ranging from a military junta to full-fledged democracies. It is of course not an easy effort to promote political freedom in the region, but Indonesia has taken a significant role in raising the issue.

And despite the challenges faced by the government both at home and from the region itself, Indonesia's advocacy of ASEAN political integration remains strong. In this light, it is worth recalling Indonesia's stance from being an opponent of Western democratic values by arguing that they went against Asian values, to being the champion of democracy in the region. A transformation in need is a transformation indeed.

Additionally, Indonesia is the third-largest democracy in the world after India and the United States, and the world's largest Muslim-majority country. It is widely recognized as a place where Islam, modernity and democracy coexist peacefully in society.

Indeed, there are still some challenges that need to be overcome. These include partially horizontal tensions within society and other issues such as terrorism and radicalism.

Corruption also remains a problem in the country. The country's Corruption Perception Index as published by Transparency International puts us on the same level as Libya, Ethiopia and Uganda. Yet with the country's persistent efforts in eradicating corruption, the index has improved by 37 percent since 2002.

Other than that, according to Reporters Without Borders, freedom of expression in Indonesia has actually worsened since 2002, placing it on the same level as Guinea and Mauritania.

However, Indonesia's overall ranking has improved significantly over the past year, from 111th spot to 100th, showing greater guarantees of freedom of expression.

While the poverty and unemployment rates remain high, President Susilo Bambang Yudhoyono's administration has gradually brought them down over the past five years, to around 14 percent and 9 percent respectively.

In conclusion, referring to all these features, it is certainly not an exaggerated hope to argue that Indonesia has all the potential needed to be recognized as a world superpower.

We believe we have the right ingredients to be considered a super power. It may not be soon, but if we can nurture all the potentials that we embrace, Indonesia can become an Asian superpower, while to add the word "world" before "superpower" to Indonesia's international stature may still need an extra effort by all Indonesians.

Because a challenge remains: How do we translate these potentials into real power that can compete with China, India, Russia and, most of all, the United States? Indeed, this is a question for all Indonesians who share our optimism that Indonesia can and will be a world superpower.

Hadianto Wirajuda is a PhD candidate at the London School of Economics and Political Science, UK; Diaz Hendropriyono is a PhD candidate at Virginia Tech, US; Both are founders of the Youth Initiative for Indonesia's Democracy and Development (YIDD)


Taken from

http://www.thejakartapost.com/news/2009/11/22/it-may-not-be-soon-we-can-become-asian-superpower.html

Diaz Hendropriyono's Interview - KPK vs POLRI






Diaz Hendropriyono, PhD Candidate at the Center for Public Administration and Policy at Virginia Tech, Commenting on the current conflict between KPK and POLRI. Broadcast on Voice of America and Radio TPI Jakarta 97.1 FM on November 19, 2009

Cicak, Buaya, Kambing Hitam, dan Adu Domba

November 18, 2009

Diaz Hendropriyono
Washington, DC

Kasus KPK vs. POLRI semakin hari semakin “seru” untuk diikuti. Kasus ini bermula saat Kabareskrim Komjen Susno Duaji menangkap dua wakil KPK Bidang Penindakan Bibit Riyanto dan Bidang Pencegahan Chandra Hamzah karena penyalahgunaan wewenang, dengan ancaman enam tahun penjara, terkait pencekalan Direktur PT Masaro, Anggoro Widjojo,tersangka kasus korupsi di Departemen Kehutanan, dan pencabutan pencekalan Direktur PT Era Giat Prima, Djoko Chandra, tersangka kasus cessie Bank Bali. Dalam hal ini, polisi berpegangan pada Pasal 21 Ayat 5 UU No 30/2002 tentang KPK yang mengharuskan keputusan pencekalan pimpinan KPK harus bersifat kolektif, tidak hanya tergantung pada keputusan Bibit dan Chandra. Belakangan, pasal yang disangkakan oleh Polisi berubah dari penyalahgunaan kewenangan, penyuapan, pencobaan pemerasan, dan pemerasan.

Misteri langsung berkembang apakah penangkapan ini terkait tindakan balas dendam Susno yang mengetahui bahwa dirinya sedang disadap oleh KPK terkait kasus Bank Century. Adapun kasus ini berawal saat Susno diberitakan meminta fee 10% dari jumlah uang sebesar US$18 juta milik Boedi Sampoerna, jika Susno bisa mengambil uang tersebut dari bank yang saat itu sedang dilanda beberapa masalah, termasuk masalah likuiditas dan penggelapan uang oleh pemiliknya sendiri, yaitu Robert Tantular. Dugaan balas dendam atau rivalitas antar dua lembaga ini pun terus berkembang di masyarakat seiring dengan sebutan “Cicak vs Buaya” yang di sempat lontarkan oleh Susno. Publik pun tidak tinggal diam. Berbagai organisasi dan masyarakat luaspun memprotes keras penahanan kedua pimpinan KPK ini—sebut saja, antara lain, Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi, Komunitas Cinta Indonesia Cinta KPK dan Gerakan Sejuta Facebookers Pendukung KPK. Bahkan, Presiden SBY pun ikut turun tangan dengan membentuk satu tim independen bersifat ad-hoc yang diketuai Adnan Buyung Nasution untuk menelusuri kasus ini.

Karena tuduhan Polisi terhadap Bibit dan Chandra yang tidak konsisten—ditambah lagi penetapan tersangka yang diputuskan dalam hitungan jam, dari penetapan sebagai saksi—publik pun dibuat bingung. Jika memang proses pencekalan yang dipermasalahkan, seharusnya kasus ini dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Dan yang seharusnya keberatan dan menjadi pelapor adalah pihak yang dicekal. Tetapi, Polisi bersikeras bahwa kasus ini bisa di bawa ke pengadilan atas tuduhan penyuapan seperti yang dilaporkan oleh mantan Ketua KPK Antasari Azhar, yang sekarang sedang menjadi tersangka kasus pembunuhan PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnaen.

Dengan semakin populernya dua nama binatang, “Cicak” dan “Buaya”, yang di sangkutkan pada kasus tersebut, semoga saja nama binatang-binatang lain tidak akan muncul didalam kasus ini, khususnya “Kambing Hitam”. Sayangnya, ada kemungkinan bahwa nama binatang tersebut akan muncul ke permukaan. Pertanyaannya sekarang, yaitu siapa yang akan memerankan tokoh tersebut. Seperti diketahui, berdasarkan informasi yang berkembang di masyarakat, Anggoro menyuruh adiknya, Anggodo Widjojo untuk menyuap petinggi KPK agar pencekalan Anggoro dicabut. Anggodo diberitakan memberikan uang suap ke pimpinan KPK senilai Rp. 5,150,000,000 melalui perantara Ari Muladi.

Pembayaran dilakukan tiga tahap. Pertama, pada bulan Juli 2008, Anggodo memberikan Ari Muladi Rp. 3,750,000,000 (dalam bentuk US Dollar dan Rupiah) di Deluxe Karaoke Hotel Penninsula, yang sore harinya, melalui perantara Yulianto, langsung di berikan ke Deputi Penindakan KPK Ade Raharja—untuk selanjutnya diberikan ke Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M. Jasin, senilai Rp. 1 milyar—di cafĂ© Bakul Kopi Bellagio Kuningan. Dua hari setelah itu, menurut Ari Muladi, ia kembali mempercayakan Yulianto untuk memberikan Rp. 1,5 milyar kepada dua orang di Pasar Festival , yang diperkirakan Bibit Riyanto dan Chandra Hamzah. Tahap kedua, Anggodo memberikan Rp. 400 juta ke Ari beberapa saat setelah pemberian pertama. Dan pada Februari 2009, Anggodo mempercayakan Rp. 1 milyar (dalam bentuk Singapore Dollar) kepada Ari, yang diberikan kepada Yulianto di Kafe Trattoria di Wisma Karya, untuk akhirnya diberikan ke Direktur Penyidikan KPK Bambang Widaryatmo. Uang Rp. 250 juta belakangan di kabarkan untuk diberikan ke media. (Tidak diketahui kemana larinya sisa uang milik Anggodo Rp. 1,4 milyar yang sudah diberikan ke Ari).

Tokoh-tokoh “Kambing Hitam”

Jika memang ini merupakan scenario besar yang sengaja dibuat oleh POLRI untuk menjatuhkan KPK, kemungkinan tokoh “Kambing Hitam” akan diperankan oleh Anggodo. Menurut berita yang beredar di media, Anggodo, lantaran kesal karena telah menyuap KPK namun pencabutan Anggoro masih juga belum dicabut, mencoba untuk mengkriminalisasikan KPK dengan bantuan polisi. Dalam hal ini, polisi memang sudah lama mau menggembosi sebuah lembaga “superbody” tersebut yang telah menimbulkan kecemburuan diantara lembaga penegak hukum. Tetapi pada akhirnya, bukan tidak mungkin bahwa Anggodo yang akan ditangkap dengan tuduhan penyuapan.

Tokoh “Kambing Hitam” juga bisa diperankan oleh Antasari Azhar. Bukti kriminalisasi KPKpun agaknya menguat setelah tersangka Wiliardi Wizar mengakui bahwa BAP di tanda tangani olehnya karena ada intimidasi dari petinggi kepolisian untuk menjerat Antasari. Agaknya, jika Antasari bisa lepas dari tuduhan ini, Wiliardi lah yang di jadikan “Kambing Hitam”.

Tetapi jika scenario penggembosan KPK oleh POLRI memang hanya suatu dugaan yang mengada-ada, nantinya akan terlihat bahwa POLRI lah sebenarnya yang dijadikan “Kambing Hitam.” Seperti diketahui, sewaktu KPK mau menyelidiki kasus Bank Century, karena ada kejanggalan dalam pencairan dana, Polisi langsung memeriksa para pejabat KPK terkait kasus penyalahgunaan wewenang dan penyuapan. Yang dikhawatirkan disini ialah dugaan bahwa Polisi sebenarnya hanya digunakan untuk menutupi apa sebenarnya yang terjadi di Bank Century, yang menerima kucuran dana pemerintah sebesar Rp. 6,7 triliun. Opini kemudian dilemparkan ke publik bahwa ada persaingan antar lembaga, agar masyarakat tidak terfokus pada masalah Century yang mungkin melibatkan pejabat-pejabat negara lainnya.

“Adu Domba”

Walau kemunculan “kambing hitam” sangat disayangkan, namun lebih disayangkan lagi jika ternyata ada scenario “adu domba” di kasus tersebut, dimana kepolisian memang di “adu domba” dengan KPK. Disini berarti ada pihak ketiga yang memiliki kepentingan lain. Siapakah tokoh yang akan memerankan “pengadu domba” disini? Memang belum terlihat jelas, namun para koruptor sedang menari-nari diatas kesedihan institusi negara yang sedang mengalami krisis tersebut.


Diambil dari situs:

1) http://www.inilah.com/berita/citizen-journalism/2009/11/18/181967/cicak-buaya-kambing-hitam-dan-adu-domba/

2) http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=67516:cicak-buaya-kambing-hitam-dan-adu-domba&catid=58&Itemid=85