Cicak, Buaya, Kambing Hitam, dan Adu Domba

November 18, 2009

Diaz Hendropriyono
Washington, DC

Kasus KPK vs. POLRI semakin hari semakin “seru” untuk diikuti. Kasus ini bermula saat Kabareskrim Komjen Susno Duaji menangkap dua wakil KPK Bidang Penindakan Bibit Riyanto dan Bidang Pencegahan Chandra Hamzah karena penyalahgunaan wewenang, dengan ancaman enam tahun penjara, terkait pencekalan Direktur PT Masaro, Anggoro Widjojo,tersangka kasus korupsi di Departemen Kehutanan, dan pencabutan pencekalan Direktur PT Era Giat Prima, Djoko Chandra, tersangka kasus cessie Bank Bali. Dalam hal ini, polisi berpegangan pada Pasal 21 Ayat 5 UU No 30/2002 tentang KPK yang mengharuskan keputusan pencekalan pimpinan KPK harus bersifat kolektif, tidak hanya tergantung pada keputusan Bibit dan Chandra. Belakangan, pasal yang disangkakan oleh Polisi berubah dari penyalahgunaan kewenangan, penyuapan, pencobaan pemerasan, dan pemerasan.

Misteri langsung berkembang apakah penangkapan ini terkait tindakan balas dendam Susno yang mengetahui bahwa dirinya sedang disadap oleh KPK terkait kasus Bank Century. Adapun kasus ini berawal saat Susno diberitakan meminta fee 10% dari jumlah uang sebesar US$18 juta milik Boedi Sampoerna, jika Susno bisa mengambil uang tersebut dari bank yang saat itu sedang dilanda beberapa masalah, termasuk masalah likuiditas dan penggelapan uang oleh pemiliknya sendiri, yaitu Robert Tantular. Dugaan balas dendam atau rivalitas antar dua lembaga ini pun terus berkembang di masyarakat seiring dengan sebutan “Cicak vs Buaya” yang di sempat lontarkan oleh Susno. Publik pun tidak tinggal diam. Berbagai organisasi dan masyarakat luaspun memprotes keras penahanan kedua pimpinan KPK ini—sebut saja, antara lain, Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi, Komunitas Cinta Indonesia Cinta KPK dan Gerakan Sejuta Facebookers Pendukung KPK. Bahkan, Presiden SBY pun ikut turun tangan dengan membentuk satu tim independen bersifat ad-hoc yang diketuai Adnan Buyung Nasution untuk menelusuri kasus ini.

Karena tuduhan Polisi terhadap Bibit dan Chandra yang tidak konsisten—ditambah lagi penetapan tersangka yang diputuskan dalam hitungan jam, dari penetapan sebagai saksi—publik pun dibuat bingung. Jika memang proses pencekalan yang dipermasalahkan, seharusnya kasus ini dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Dan yang seharusnya keberatan dan menjadi pelapor adalah pihak yang dicekal. Tetapi, Polisi bersikeras bahwa kasus ini bisa di bawa ke pengadilan atas tuduhan penyuapan seperti yang dilaporkan oleh mantan Ketua KPK Antasari Azhar, yang sekarang sedang menjadi tersangka kasus pembunuhan PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnaen.

Dengan semakin populernya dua nama binatang, “Cicak” dan “Buaya”, yang di sangkutkan pada kasus tersebut, semoga saja nama binatang-binatang lain tidak akan muncul didalam kasus ini, khususnya “Kambing Hitam”. Sayangnya, ada kemungkinan bahwa nama binatang tersebut akan muncul ke permukaan. Pertanyaannya sekarang, yaitu siapa yang akan memerankan tokoh tersebut. Seperti diketahui, berdasarkan informasi yang berkembang di masyarakat, Anggoro menyuruh adiknya, Anggodo Widjojo untuk menyuap petinggi KPK agar pencekalan Anggoro dicabut. Anggodo diberitakan memberikan uang suap ke pimpinan KPK senilai Rp. 5,150,000,000 melalui perantara Ari Muladi.

Pembayaran dilakukan tiga tahap. Pertama, pada bulan Juli 2008, Anggodo memberikan Ari Muladi Rp. 3,750,000,000 (dalam bentuk US Dollar dan Rupiah) di Deluxe Karaoke Hotel Penninsula, yang sore harinya, melalui perantara Yulianto, langsung di berikan ke Deputi Penindakan KPK Ade Raharja—untuk selanjutnya diberikan ke Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M. Jasin, senilai Rp. 1 milyar—di café Bakul Kopi Bellagio Kuningan. Dua hari setelah itu, menurut Ari Muladi, ia kembali mempercayakan Yulianto untuk memberikan Rp. 1,5 milyar kepada dua orang di Pasar Festival , yang diperkirakan Bibit Riyanto dan Chandra Hamzah. Tahap kedua, Anggodo memberikan Rp. 400 juta ke Ari beberapa saat setelah pemberian pertama. Dan pada Februari 2009, Anggodo mempercayakan Rp. 1 milyar (dalam bentuk Singapore Dollar) kepada Ari, yang diberikan kepada Yulianto di Kafe Trattoria di Wisma Karya, untuk akhirnya diberikan ke Direktur Penyidikan KPK Bambang Widaryatmo. Uang Rp. 250 juta belakangan di kabarkan untuk diberikan ke media. (Tidak diketahui kemana larinya sisa uang milik Anggodo Rp. 1,4 milyar yang sudah diberikan ke Ari).

Tokoh-tokoh “Kambing Hitam”

Jika memang ini merupakan scenario besar yang sengaja dibuat oleh POLRI untuk menjatuhkan KPK, kemungkinan tokoh “Kambing Hitam” akan diperankan oleh Anggodo. Menurut berita yang beredar di media, Anggodo, lantaran kesal karena telah menyuap KPK namun pencabutan Anggoro masih juga belum dicabut, mencoba untuk mengkriminalisasikan KPK dengan bantuan polisi. Dalam hal ini, polisi memang sudah lama mau menggembosi sebuah lembaga “superbody” tersebut yang telah menimbulkan kecemburuan diantara lembaga penegak hukum. Tetapi pada akhirnya, bukan tidak mungkin bahwa Anggodo yang akan ditangkap dengan tuduhan penyuapan.

Tokoh “Kambing Hitam” juga bisa diperankan oleh Antasari Azhar. Bukti kriminalisasi KPKpun agaknya menguat setelah tersangka Wiliardi Wizar mengakui bahwa BAP di tanda tangani olehnya karena ada intimidasi dari petinggi kepolisian untuk menjerat Antasari. Agaknya, jika Antasari bisa lepas dari tuduhan ini, Wiliardi lah yang di jadikan “Kambing Hitam”.

Tetapi jika scenario penggembosan KPK oleh POLRI memang hanya suatu dugaan yang mengada-ada, nantinya akan terlihat bahwa POLRI lah sebenarnya yang dijadikan “Kambing Hitam.” Seperti diketahui, sewaktu KPK mau menyelidiki kasus Bank Century, karena ada kejanggalan dalam pencairan dana, Polisi langsung memeriksa para pejabat KPK terkait kasus penyalahgunaan wewenang dan penyuapan. Yang dikhawatirkan disini ialah dugaan bahwa Polisi sebenarnya hanya digunakan untuk menutupi apa sebenarnya yang terjadi di Bank Century, yang menerima kucuran dana pemerintah sebesar Rp. 6,7 triliun. Opini kemudian dilemparkan ke publik bahwa ada persaingan antar lembaga, agar masyarakat tidak terfokus pada masalah Century yang mungkin melibatkan pejabat-pejabat negara lainnya.

“Adu Domba”

Walau kemunculan “kambing hitam” sangat disayangkan, namun lebih disayangkan lagi jika ternyata ada scenario “adu domba” di kasus tersebut, dimana kepolisian memang di “adu domba” dengan KPK. Disini berarti ada pihak ketiga yang memiliki kepentingan lain. Siapakah tokoh yang akan memerankan “pengadu domba” disini? Memang belum terlihat jelas, namun para koruptor sedang menari-nari diatas kesedihan institusi negara yang sedang mengalami krisis tersebut.


Diambil dari situs:

1) http://www.inilah.com/berita/citizen-journalism/2009/11/18/181967/cicak-buaya-kambing-hitam-dan-adu-domba/

2) http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=67516:cicak-buaya-kambing-hitam-dan-adu-domba&catid=58&Itemid=85