Realita Penundaan RUU Kamnas

25 Agustus 2008
Diaz Hendropriyono
Washington, DC

Dua Perdebatan Utama dalam RUU Kamnas

Naskah Rancangan Undang Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) yang sekarang sedang dikaji oleh Lemhanas masih memicu kontroversi yang berkelanjutan. Perdebatan pertama dalam naskah RUU yang mulanya di susun oleh Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan pada awal 2007 ini terletak pada keinginan Dephan untuk mereposisi Kepolisian Republik Indonesia dibawah satu departemen setingkat menteri. POLRI, yang pisah dari TNI sejak tahun 2000 berdasarkan Tap MPR No VI/2000, terus bersikap keras menolak RUU yang dinilai akan menghambat efektivitas institusi sipil tersebut. Perdebatan lainnya, RUU Kamnas di anggap akan mengembalikan paradigma lama dengan melebur sistem pertahanan dan keamanan negara, dimana tanggung jawab keamanan nasional di emban bersama-sama oleh POLRI dan TNI. Padahal, seperti di ketahui, UU No 2 Tahun 2002 dan UU No 34 Tahun 2004 telah membagi fungsi POLRI sebagai penjaga keamanan dan TNI sebagai kekuatan pertahanan. Selain itu, keterlibatan TNI dalam bidang keamanan di khawatirkan akan membuka peluang pelanggaran HAM oleh militer, seperti yang terjadi di zaman Orde Baru.

Paling tidak ada 35 dari 70 pasal dari naskah RUU Kamnas yang menimbulkan polemik. Misalkan, pasal 22 ayat 6 memperbolehkan penggunaan militer dalam menjaga keamanan pada saat keadaan darurat sipil. Pasal 61 ayat 1 menyebutkan bahwa TNI dapat diperbantukan untuk mengatasi aksi mogok masal, konflik komunal, dan dampak bencana alam. Pasal 63 ayat 1 berbunyi kurang lebih, dalam situasi genting yang mengancam keamanan insani dan publik, dan jika unsur keamanan nasional lainnya tidak mampu mengatasi situasi genting tersebut, maka TNI dapat digunakan untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan. Selanjutnya, pasal 17 ayat 1 dan pasal 21 ayat 1 berbunyi bahwa penanganan keamanan nasional harus ditempatkan dibawah tanggung jawab menteri urusan dalam negeri.

Penolakan POLRI

RUU Kamnas, yang sudah di sosialisasikan sebanyak paling tidak enam putaran, termasuk di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), sudah tentu mengancam kemandirian POLRI. Kalangan penolakpun berdalih, kemandirian POLRI menyangkut masalah historis. Sebelum di masukannya POLRI di bawah kementrian pada tahun 1961 sampai 1999, berdasarkan PP No. 11 D Tahun 1946, POLRI pernah menjadi lembaga independen setingkat departemen langsung di bawah Perdana Menteri (1946-1950) dan di bawah Perdana Menteri/Menteri Utama (1950-1959). Sehingga, mereka menilai bahwa independensi POLRI bukanlah suatu hal yang baru, dan seharusnya dapat diterima oleh semua kalangan termasuk Dephan.

Alasan Dephan Mendukung RUU Kamnas

Walau demikian, ada beberapa alasan penting untuk mendukung RUU Kamnas. Misalkan, dosen Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia yang juga mantan anggota POLRI, Bambang Widodo Umar, mengingatkan tentang pentingnya RUU Kamnas karena UU tentang Kepolisian (UU No 2 Tahun 2002) sudah mendahului UU Keamanan Nasional. Hal ini berbeda dengan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI yang dibuat setelah UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan.

Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan perlunya penyelarasan kesimpang-siuran UU mengenai pertahanan dan keamanan, yaitu UU No 2/2002 tentang Kepolisian, UU No 3/2002 tentang Pertahanan, dan UU No 34/2004 tentang TNI. Ketiga UU ini telah menimbulkan multitafsir, khususnya terkait kewenangan TNI dalam bidang keamanan nasional. Dengan demikian harus ada UU lain yang lebih memperjelas kewenangan TNI tersebut.

Menhan melanjutkan bahwa keterlibatan TNI dalam menjaga keamanan negara masih sangat diperlukan, dalam konteks arti keamanan yang cukup luas. Dengan kata lain, domain keamanan bukanlah hanya milik POLRI. Dengan ini, RUU Kamnas hendaknya tidak dilihat sebagai upaya untuk kembali mencampur adukkan fungsi TNI dan POLRI dibawah HanKam seperti pada zaman Orde Baru. Struktur kedua lembaga tetap terpisah, tetapi dalam menjalankan tugas dan fungsi harus selaras dan bisa bersatu. Dan realitanya, banyak kasus-kasus yang membutuhkan kehadiran TNI dengan segera.

Pasca kerusuhan 22 Januari 2007, ratusan personel TNI, sebagai aparat penegak hukum dan penjaga keamanan (non-militer), dikerahkan untuk membantu POLRI memburu pelaku terror bom dan pembunuhan di Poso. Begitu juga yang terjadi setahun sebelumnya saat TNI di libatkan dalam Operasi Lanto Dago di provinsi Sulawesi Tengah. Pada pertengahan 2006, ribuan personel TNI dan taruna Akademi Militer dikerahkan untuk membantu korban bencana gempa di Yogyakarta. Dan pada tahun yang sama, ratusan personel TNI turut serta dalam pencarian korban hilang akibat tsunami di Pangandaran. Dalam mengamati keterlibatannya, terlihat anggota TNI lebih tanggap, efektif, dan cekatan dalam memenuhi kebutuhan rakyat di daerah konflik atau bencana tersebut.

Alasan lain terkait reposisi POLRI dibawah suatu kementrian. Kewenangan POLRI saat ini sangatlah besar, seperti tertera di Bab III pasal 13 sampai 19 pada UU No 2 Tahun 2002. Karena itu, seperti di utarakan oleh Gubernur Lemhanas Muladi, POLRI sebaiknya berada di bawah kementrian negara untuk mendapat pengawasan.. Hal senada juga di lontarkan oleh Ketua Komisi I DPR RI Theo Sambuaga. Politisi Golkar ini juga berpendapat bahwa payung hukum ini sangat diperlukan untuk menghindari bentrok TNI-POLRI yang sejak dikeluarkannya Tap MPR No VI dan VII Tahun 2000 tentang pemisahan dan fungsi TNI-POLRI, sudah terjadi lebih dari 100 kali dengan memakan korban jiwa.

Mengenai reposisi POLRI, wacana yang berkembang saat ini selain di Depdagri, POLRI dapat di tempatkan di bawah DepHukHam atau di sebuah departemen baru yang menangani urusan keamanan nasional. Ada juga yang mengusulkan dibentuknya semacam Dewan Kepolisian Nasional sebagai lembaga kebijakan yang beranggotakan Kapolri, Menhan, Mendagri, dan MenHukHam. Walau idealnya POLRI di taruh di bawah Depdagri, seperti pada zaman Kapolri pertama Jenderal Soekanto pada tahun 1945, dimanapun insitusi ini di posisikan, sebenarnya bukan masalah yang sangat besar. Intinya, harus ada pengawasan.

Lebih lanjut, berdasarkan pasal 9 UU No 2 Tahun 2002, Kapolri bertindak sebagai pembuat dan penyelenggara kebijakan POLRI. Berbeda dengan TNI, sesuai pasal 3 ayat 2 UU No 34 Tahun 2004, dimana kebijakan pertahanan berada di tangan Dephan. Membiarkan suatu institusi tanpa pengawasan dan berwenang menetapkan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengawasi kebjiakannya sendiri, terlepas apakah insitusi itu politis atau non-politis, merupakan suatu hal yang sebenarnya bertentangan dengan cita-cita reformasi.

Rekomendasi

Penyusunan RUU Kamnas adalah hal yang sangat penting demi tercapainya keamanan nasional. Oleh karena itu dukungan penuh harus diberikan untuk di undang-undang kannya RUU tersebut. Walau demikian, suatu hal yang penting bukan berarti mendesak. Ada beberapa hal yang sebenarnya harus di benahi sebelum disahkannya RUU Kamnas. Hal ini terkait realita politik yang ada saat ini.

Pertama, melalui TAP MPR No 1 Tahun 2003, sebagian besar Ketetapan MPRS/MPR yang dikeluarkan antara 1960 sampai 2002, yang dinilai tidak lagi sesuai dengan tata kehidupan masyarakat sekarang, dinyatakan tidak berlaku lagi. Beberapa Ketetapan masih di pertahankan karena di anggap penting bagi kehidupan berbangsa. TAP MPR No VI Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI, dan TAP MPR No VII Tahun 2000 tentang peran TNI dan POLRI dinyatakan berlaku sampai dikeluarkannya UU terkait. Meskipun demikian, terlihat masih terjadi multi-interpretasi dan kesalah pahaman di masyarakat tentang TAP MPR No 1 Tahun 2003. Ada baiknya menghapus dahulu kedua TAP MPR tentang TNI dan POLRI di sebuah sidang istimewa sebelum melanjutkan penyusunan naskah RUU Kamnas, sekaligus untuk memuluskan proses di undang-undangkannya RUU tersebut.

Kedua, penundaan RUU Kamnas juga ada baiknya mengingat situasi politik dan kondisi masyarakat secara umum sekarang yang tidak stabil dan tidak menentu. Lebih khususnya, hubungan antara TNI dan POLRI. Pemaksaan untuk di selesaikannya RUU Kamnas sebelum pergantian permerintahan tahun depan hanya akan memanaskan rivalitas dan memperbesar konflik di antara kedua lembaga bersenjata ini.

Terakhir, seperti di atur dalam UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pertaturan Perundang-Undangan, bahwa penyusunan dan perancangan RUU—yang merupakan wewenang DPR, DPD, dan Presiden—harus dilakukan berdasarkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Selanjutnya, di dalam program tersebut ditetapkan skala prioritas untuk berbagai RUU yang akan dibahas, dengan memuat program legislasi jangka panjang, menengah, dan pendek. Sayangnya, RUU Kamnas tidak di prioritaskan dalam Prolegnas 2007 dan 2008. Terlebih lagi, berdasarkan evaluasi Badan Legislasi DPR RI, dari 284 RUU yang masuk Prolegnas 2005-2009, baru 104 yang disahkan menjadi undang-undang. Tentunya ini merupakan suatu hambatan dalam proses pengesahan RUU Kamnas.

Dengan berbagai alasan diatas, penundaan untuk di undang-undangkannya RUU Kamnas sampai sesudah pemilu tahun depan adalah suatu pilihan yang tepat, dan yang pasti lebih realistis.

Penulis adalah Kandidat Doktor (PhD) ilmu administrasi negara dan kebijakan publik di Universitas Virginia Tech, Amerika Serikat

Diambil dari Situs: http://suarapembaca.detik.com/read/2008/08/25/170214/994301/471/realita-penundaan-ruu-kamnas