Implikasi Konflik di Georgia dan Impeachment Musharraf Terhadap AS

12 Agustus 2008

Diaz Hendropriyono
Washington, DC

Perang di Georgia

Pada saat Olimpiade berlangsung di Beijing, Russia memulai agresi militer ke wilayah Ossetia Selatan di Georgia, dimana pasukan Georgia telah melancarkan serangan kejutan di kota Tskhvinkali beberapa hari sebelumnya untuk meredam gerakan separatis yang berusaha untuk memisahkan diri secara penuh dari Georgia. Konflik bersenjata tersebut paling tidak telah memakan 2,000 korban, memaksa ratusan ribu warga sipil meninggalkan rumah mereka, dan sekitar 34,000 mengungsi ke Vladikavkaz, Russia. Invasi Russia meliputi serangan darat dengan tank yang menghancurkan beberapa kota termasuk Gori di Georgia tengah, dan serangan udara dengan jet tempur yang menenggelamkan kapal selam Georgia di Laut Hitam dan membombardir pabrik yang memproduksi pesawat tempur Sukhoi SU-25 di pinggiran ibukota Tbilisi. Dengan segera, Russia memperluas serangan militernya ke kota Senaki di Georgia melalui Abkhazia di baratlaut, sebuah wilayah lain yang juga ingin melepaskan diri dari kekuasaan Georgia. Seperti penduduk Ossetia Selatan, mayoritas penduduk Abkhazia adalah pemegang paspor Russia.

Russia juga menyerang perekonomian Georgia dengan cara memblokade dan merusak beberapa pelabuhan di Laut Hitam, termasuk Poti, yang digunakan sebagai tempat transit untuk mengangkut sekitar 500,000 barrel minyak mentah (crude oil) setiap harinya ke pasar-pasar barat. Lebih lanjut, Russia berusaha menghancurkan saluran pipa miyak Baku-Tbilisi-Ceyhan yang mengirim sekitar 900,000 barrel minyak dari Azerbaijan ke Turkey, via Georgia. Dan dalam waktu tiga hari, hampir seluruh wilayah Georgia telah di kuasai Russia.

Presiden Georgia Mikheil Saakashvili yang pro barat mengatakan bahwa sebuah proses penyerbuan, pendudukan, dan pembinasaan sedang berlangsung di negara yang berdaulat dan demokratis. Pertempuran ini pun mendapatkan reaksi keras dari dunia internasional. Presiden Amerika Serikat George W. Bush mendesak Russia untuk menghentikan aksi militernya, dan menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan Georgia untuk kembali ke status quo tanggal 6 Agustus. Presiden Prancis Nikolas Sarkozy, dalam kapasitasnya sebagai Presiden Uni Eropa, langsung berkunjung ke Moskow dan Tbilisi untuk misi perdamaian. Presiden Lithuania, Polandia, Ukrania, dan Perdana Menteri Latvia dan Estonia juga akan terbang ke Tbilisi untuk memberikan dukungan kepada Georgia. Dukungan lain datang dari para Menlu negara-negara G7. Pada akhirnya, setelah memporak-porandakan Georgia dan mendapatkan kecaman keras dari dunia internasional, Russia menghentikan serangan militernya.

Musharraf Terancam Impeachment

Beralih ke Pakistan. Pakistan adalah sebuah negara sekutu Amerika yang lain, yang juga sedang mengalami kesulitan. Presiden pro-barat Pervez Musharraf saat ini terancam pencabutan jabatan. Koalisi partai yang berkuasa sejak pemilu Februari, Partai Rakyat Pakistan pimpinan Asif Ali Zardari, Partai Liga Muslim (N) pimpinan Nawaz Sharif, dan beberapa partai kecil lainnya, sepakat untuk mengajukan impeachment terhadap Musharraf di Parlemen. Mereka menuding bahwa Musharraf telah melanggar konsitusi, menyalah gunakan jabatannya, dan bertanggung jawab atas krisis ekonomi, dengan nilai inflasi mencapai 20%, krisis listrik, dan makanan. Dibutuhkan paling tidak 2/3 suara dari majelis rendah (national assembly) dan majelis tinggi (senate) di parlemen untuk melakukan pemecatan terhadap presiden. Yakin akan mendapatkan lebih dari 295 suara yang dibutuhkan untuk melaksanakan pemakzulan, partai koalisi mendesak Musharraf untuk segera turun dari jabatannya sebelum dipermalukan oleh proses impeachment yang belum pernah terjadi dalam sejarah Pakistan. Terlebih lagi, empat provinsi di Pakistan (Punjab, Baluchistan, Sindh, dan North West Frontier) dipastikan akan menyerukan mosi tidak percaya dalam waktu dekat, dimana resolusi tersebut akan menambah tekanan politik terhadap Musharraf untuk mundur. Berdasarkan konstitusi, Musharraf sebenarnya bisa membubarkan parlemen, atau menyatakan negara dalam keadaan darurat, walaupun hal ini akan menjadi sesuatu yang sangat kontroversial. Pilihan yang lebih “demokratis” yaitu dengan membela diri dan melawan proses impeachment di parlemen.

Popularitas Musharraf sebenarnya sudah mengalami penurunan drastis sejak tahun lalu saat ia memecat seorang hakim agung dan 60 hakim lainnya karena menolak perpanjangan masa jabatan presiden. Pemberlakuan state of emergency pada November lalu, penahanan ribuan politisi dan pengacara oposisi, serta penutupan saluran-saluran televisi swasta terus mengikis popularitas Musharraf. Pada Februari tahun ini, sebelum digelarnya pemilu legislatif, tingkat kepuasan publik pada pemerintahan Musharraf berada di tingkat terendah, yaitu 15%.

Implikasi Terhadap Pengaruh AS

Situasi di kedua negara sekutu dekat AS ini tentu berimplikasi buruk terhadap AS. Pemecatan terhadap Musharraf dan kemugkinan pergantian pemerintahan Saakashvili akan megurangi pengaruh AS di Timur Tengah dan Eropa. Belakangan ini, Georgia telah membina hubungan baik dengan AS. Tahun lalu, pada saat negara-negara lain menarik pasukannya dari Iraq, Georgia menambah jumlah pasukannya di Iraq, sebagai bukti dukungan untuk AS. Dengan demikian, Georgia adalah negara ketiga yang mempunyai jumlah pasukan terbanyak di Iraq setelah AS dan Inggris. Dengan dukungan AS, Georgia berambisi untuk menjadi anggota NATO dan Uni Eropa, dan berkeinginan untuk me-reintegrasi tiga wilayah separatis, Abkhazia, Ajara dan Ossetia Selatan, suatu kebijakan yang di tentang keras oleh Russia. Hal ini tentu menambah perhatian AS terhadap Georgia. Paling tidak, AS telah mendanakan $64 juta untuk melatih dan mempersenjatakan tentara Georgia untuk melawan al-Qaeda di perbatasan Russia-Chechnya dan mempersiapkan pasukan Georgia untuk mengatasi situasi di Iraq.

Seperti diketahui, perang Iraq telah membuat reputasi AS di negara-negara Eropa menurun drastis, khususnya di Prancis dan Jerman. Bahkan polling terakhir di Inggris, sekutu kuat AS di Eropa, menunjukkan hanya 33% responden yang mempunyai opini baik terhadap AS. Pengaruh AS di Eropa mulai berkurang dengan turunnya beberapa pemimpin negara-negara sekutu AS di Eropa beberapa saat lalu, seperti Jose Aznar di Spanyol, Jose Barroso di Portugal, dan Silvio Berlusconi yang sempat turun dari kursi PM di Italia. Banyak juga tekanan-tekanan publik dari dalam negeri di Ceko, Polandia, dan Hungaria yang mendesak pemerintahannya untuk lebih mendekatkan diri ke Prancis dan Jerman daripada AS. Menghilangnya Saakashvili dari panggung politik akan meninggalkan AS dengan sekutu-sekutu kecil seperti Latvia, Lithuania, dan Estonia.

Begitu juga yang terjadi di Pakistan, yang merupakan sekutu penting AS, khususnya dalam memerangi terorisme. Pakistan, yang sejak 2001 telah menerima bantuan AS senilai lebih dari $10 milyar, dianggap berkontribusi banyak terhadap suskesnya “Perang Melawan Terrorisme” yang di usung AS. Lebih dari 750 anggota al-Qaeda berhasil ditangkap/dibunuh di wilayah Pakistan, termasuk tokoh penting seperti Khalid Sheikh Mohammed dan Ramzi bin Alshibh yang di serahkan ke AS. Sayangnya, performa Musharraf dalam memerangi al-Qaeda dan Taliban dinilai menurun sejak dirinya dilanda kesulitan politik belakangan ini. Walaupun demikian, pemakzulan Musharraf merupakan suatu hantaman keras untuk kekuatan AS di wilayah tersebut.

Mengamati perkembangan di atas, AS seharusnya lebih berani lagi untuk membela kedua kepala negara yang sedang mengalami kesulitan. Pengutukan dan rasa keprihatinan yang di sampaikan melalui media tidaklah cukup untuk mempertahankan kedua sekutu penting yang sudah lama membantu AS. Mungkin sudah waktunya bagi AS untuk membalas budi.

Penulis adalah Kandidat PhD bidang Administrasi Negara dan Kebijakan Publik di Virginia Tech University, AS.