Alasan Penolakan RUU Pornografi

October 3, 2008

Diaz Hendropriyono
Washington, DC

Pengesahan RUU Pornografi yang rencananya akan di lakukan pada 23 September lalu akhirnya kembali tertunda karena masih menimbulkan pertentangan di masyarakat. RUU yang pada mulanya berisi 11 bab dan 93 pasal sebelum akhirnya dikurangi menjadi 8 bab dan 44 pasal ini, sebenarnya sudah mulai dibahas pada tahun 1997, dan di wacanakan lagi pada awal 2006 dengan nama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Pendukung RUU, seperti PKS, berpendapat bahwa RUU ini sangat diperlukan untuk menyelamatkan moral bangsa dari penyakit pornografi yang dianggap sudah mencapai tingkat yang mengerikan. Kenyataannya, RUU yang sudah di uji publikan di Kalimantan Selatan, Maluku, Bali, DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan—dan sudah di bahas dengan pemerintah, khususnya Menkum HAM, Menag, Menteri Pemberdayaan Perempuan, dan Menkominfo—hanya akan menimbulkan kerugian yang berkepanjangan.

Pertama, kalangan perempuan seperti Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) dan Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (APIK) menilai bahwa RUU tersebut memposisikan perempuan sebagai objek pornografi, dan mengancam terjadinya kriminalisasi terhadap perempuan.

Kedua, RUU ini terlalu mencampuri privasi individu. Misalkan, seusai pasal 6, pasangan suami istri tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi dan menyimpan pornografi. Dan anehnya, menurut anggota panja RUU Pornografi dari FPDI-P, Eva Kusuma Sundari, sesuai pasal 30, pelanggaran teresebut dapat dihukum penjara dan denda yang melebihi pasal UU illegal logging dan korupsi.

Ketiga, Komponen Rakyat Bali (KRB) menganggap bahwa RUU Pornografi mengancam khas dan budaya daerah, serta tidak menghormati hak agama dan pluralitas Bhineka Tunggal Ika. Walaupun telah di khususkan bahwa penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan seni dan budaya (pasal 14), banyak kalangan masih menilai pasal tersebut bertentangan dengan pasal lainnya yang harus dibenahi. Misalkan, Institut Perempuan (IP) menilai definisi pornografi sebagai sesuatu yang “membangkitkan hasrat seksual” (pasal 1) sangatlah subjektif dan menimbulkan banyak interpretasi. Karena itu, masih ada kekhawatiran akan adanya larangan terhadap tarian tradisional.

Keempat, RUU tersebut dapat menimbulkan tindakan anarki, karena di perbolehkannya peran serta masyarakat dalam mencegah perbuatan, penyebaran dan pengunaan pornografi, sesuai tertulis pada draft pasal 21. Lebih spesifik, ketua Dewan Adat Papua (DAP) Fadhal Alhamid khawatir timbulnya peluang benturan antarkelompok masyarakat jika RUU ini disahkan. Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan Indonesia (GATKI) juga khawatir akan adanya tindakan saling menghakimi antar warga dan peluang bagi warga untuk menjadi polisi moralbagi warga lainnya.

Kelima, Dewan Kesenian Surakarta (DKS) berpendapat bahwa RUU Pornografi bertentangan dengan nilai dan semangat UUD 1945. Konstitusi Indonesia tidaklah diskriminatif atau mengkriminalisasi, dan menjunjung tinggi nilai kenakeragaman bangsa. Komnas HAM juga khawatir jika negara justru akan melanggar kewajibannya melindungi HAM yang dijamin oleh UUD 1945. Apalagi, Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik yang jelas melarang diskriminasi agama, warna kulit, status sosial, dan jenis kelamin.

Keenam, pembahasan RUU Pornografi bukan hanya memecah belah parpol di DPR, tetapi juga Indonesia secara keseluruhan. Selain masyarakat Bali, Yogyakarta, dan Sulawesi Utara, paling tidak NTT dan Papua juga menolak keras RUU tersebut, khususnya karena kekhawatiran akan adanya larangan terhadap tarian daerah yang diperagakan oleh perempuan yang tidak menggunakan busana pada bagian atas termasuk penangkapan penarinya. Terlebih, di Sulawesi Utara dan Bali sudah ada ancaman wacana untuk melepaskan diri dari NKRI jika RUU tersebut disahkan.

Ketujuh, pengesahan RUU Pornografi dinilai percuma karena substansi yang ada di RUU tersebut sudah diatur oleh beberapa UU yang ada. Menurut Ketua Umum PDS Ruyandi Hutasoit, sudah ada beberapa UU yang mengatur pornografi, seperti Pasal 282 KUHP tentang Kesusilaan, UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU 32/2002 tentang Penyiaran, dan UU 40/1999. Selain itu, ada UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU 8/1992 tentang Perfilman, dan Peraturan Pemerintah 7/1994 tentang Lembaga Sensor Film, yang juga mengatur masalah teresebut.

Kedelapan, RUU Pornografi di tolak keras oleh berbagai kalangan sehingga upaya untuk mengesahkan RUU tersebut akan terus mengalami kesulitan dan menjadi sia-sia. Bahkan, beberapa organisasi Islam seperti Hizbut Tahrir dan Forum Umat Islam mengungkapkan beberapa kelemahan yang ada di RUU tersebut, sehingga mereka menilai bahwa RUU Pornografi memang harus di format ulang.

Beberapa kerugian diatas menunjukkan bahwa RUU Pornografi sebenarnya memang tidak perlu untuk disahkan menjadi UU. Lebih baik, substansi peraturan yang sudah ada, seperti KUHP, UU, dan PP, dapat di perjelas, di revisi dan di tegakkan untuk mengatasi masalah pornografi. Saran kedua, jika memang nantinya dinyatakan bahwa pornografi masih merupakan suatu masalah yang harus di atur lebih lanjut, pengaturannya sebaiknya pada tingkat daerah saja, dan bukan tingkat nasional. Dengan demikian, peraturan akan dibuat dengan menghormati keanekaragaman, adat-istiadat, dan budaya daerah.
Terakhir, sebenarnya moral bangsa yang rusak akibat pornografi dapat dibenahi tanpa mekanisme hukum yang berkesan terlalu mencampuri urusan pribadi, yaitu dengan memperbaiki, mempertegas, atau memperbanyak pengajaran agama di sekolah dan di lingkungan keluarga.

Diaz Hendropriyono's Interview - Presidential Debate



Diaz Hendropriyono, PhD Candidate at the Center for Public Administration and Policy at Virginia Tech, Commenting on the Presidential Debate in the US and Indonesia. Broadcast on Voice of America and Radio Trijaya Jakarta 104.6 FM on October 10, 2008

Why Obama Deserves Your Vote

September 27, 2008

Diaz Hendropriyono
Washington, DC

I watched the U.S. Presidential debate last night between John McCain and Barack Obama. No doubt, there are significant and fundamental differences between the candidate’s view about a few major things. Take, for example, when asked to comment about the current financial crisis, McCain blamed greediness, while Obama blamed the lack of oversight over financial institutions. While Obama wanted to give tax cut for 95% of Americans—and by the way, increase tax for the wealthy—McCain said that he wanted to give everyone $5,000 tax credit to purchase health care. Where McCain asked for a surge in Iraq and change tactics to defeat the enemy, Obama wanted to end the war in 16 months, as he insisted that the “real enemy” is in Afghanistan, not Iraq. And he emphasized his focus on al Qaeda. Regarding Russia, it is clear that McCain, although at other times he suggested that the Cold War era has ended, still implied the “tough” stance towards Russia. He said that in Putin’s eyes, he saw three letters, KGB. Obama wanted to have a softer approach towards Russia, simply by implying that the U.S. does not need to provoke Russia. Americans just need to show democracies in Europe (Russia’s “adversaries”) that the U.S. is with them.

It seems that any foreigner who watched the debate would like to see Obama get elected because of his stance. However, what I think I like about Obama is not any of that. The most important point in the debate that I think is worth of the biggest praise is the fact that he admitted that the U.S. image abroad is bad, and it needs rehabilitation. As a foreigner, I know deeply how important it is for the U.S. image to be rebuilt to change our view towards the U.S. Talk to any European (other than the British, of course). Talk to any Arab about the U.S. And talk to any Indonesian you can find. You will most probably realize that most of them would say negatively about the U.S. You can also easily look at any poll in any country, and you will not find a single poll noting a favorable view towards the U.S. under Bush.

Obama is committed to rebuild the U.S. image worldwide. And he said it quite a few times, even before the debate. On the other hand, I have never heard McCain saying the same. It is quite strange for a presidential candidate not wanting to admit (or perhaps he does not know) that many countries do not have a favorable view towards the U.S., especially after the War in Iraq. How does McCain want to make America get the respect from the world community when he does not know that nobody likes the U.S. (policy)? Simply because understanding that, if I were American, Obama would get my vote.

Artis Harus Menjadi Kepala Daerah

3 September 2008
Diaz Hendropriyono
Washington, DC

Munculnya artis ke dunia politik telah melahirkan wacana yang beragam. Ada pihak yang menolak, ada yang mempersilakan. Di tingkat eksekutif, beberapa artis telah berhasil terpilih secara demokratis untuk menduduki kursi wakil kepala daerah. Rano Karno terpilih menjadi Wakil Wali Kota Tangerang dan Dede Yusuf menjadi Wakil Gubernur Jabar. Saat ini, Helmi Yahya sedang mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Sumsel. Begitu juga dengan Wanda Hamidah yang kabarnya akan ikut pilkada Tangerang sebagai wakil wali kota. Kabar terakhir menunjukkan kemungkinan Della Citra juga dicalonkan sebagai Wakil Bupati Serang dan Ikke Nurjanah sebagai Wakil Bupati Majalengka.

Artis ikut pilkada sebenarnya juga terjadi di banyak negara lain. Aktor Joseph Estrada pernah dipercaya sebagai Wali Kota San Juan dan Presiden Filipina. Pelawak dan TV host Joey Marquez adalah mantan Wali Kota Paranaque City, Filipina. Di India, jabatan chief minister (kepala daerah) Provinsi Andhra Pradesh dan Tamil Nadu pernah dijabat oleh aktor ternama NT Rama Rao dan MG Ramachandran. Pemain film Fatma Girik adalah mantan Wali Kota Sisli, Turki. Penari kabaret Isabel Peron dipercaya menggantikan suaminya menjadi Presiden Argentina. Di Polandia, artis cilik kembar bersaudara Lech KaczyƱski dan Jaros³aw KaczyƱski sempat menjabat Presiden dan Perdana Menteri pada saat yang sama. Dan Gubernur Altai Krai di Russia pernah dijabat oleh seorang aktor komedian Mikhail Yevdokimov.

Di Amerika Serikat, aktor produser Sonny Bono yang juga mantan suami penyanyi Cher sempat dipercaya sebagai Wali Kota Palm Spring, California. Aktor laga Clint Eastwood menjabat Wali Kota Carmel, California; penyanyi Jimmie Davis terpilih menjadi Gubernur Louisiana pada dua saat yang berbeda; dan pegulat WWF Jesse Ventura menduduki kursi Wali Kota Brooklyn Park dan Gubernur Minnesota. Yang lebih terkenal, aktor Ronald Reagan terpilih sebagai Gubernur California sebelum dipercaya sebagai Presiden AS. Lalu aktor binaraga Arnold Schwarzenegger sekarang sedang menjabat Gubernur California.

Popularitas para artis sebenarnya tidak selalu menjamin kemenangan dalam pemilihan umum. Sebagai contoh, aktor Fernando Poe Jr sempat mengincar kursi Presiden Filipina sebelum dikalahkan oleh incumbent Gloria Macapagal-Arroyo. Baru-baru ini, aktor serial TV Fred Thompson mencalonkan diri sebagai Presiden AS, namun akhirnya gagal dalam primary (putaran pertama). Setelah berkarier di parlemen, artis film dewasa Ilona Staller gagal terpilih sebagai Wali Kota Milan di Italia. Begitu juga dengan pemeran film Beverly Hills Cop Gill Hill yang tidak sukses dalam memperebutkan kursi Wali Kota Detroit, Michigan. Di Indonesia, Marissa Haque kalah di pilkada Banten, sehingga gagal menjadi wakil gubernur. Didin Bagito memilih mundur dari pencalonannya sebagai Wakil Wali Kota Serang sebelum pilkada berlangsung karena tidak dapat memenuhi jumlah minimum pendukung.

Walaupun fenomena yang ada di Indonesia juga terjadi di negara lain, namun ada satu perbedaan menarik. Mayoritas artis Indonesia terkesan masih enggan menjadi seorang kepala daerah, dan memilih maju ”hanya” sebagai wakil. Dari sekian banyak artis yang maju dalam pilkada, hanya sebagian kecil yang maju untuk menjadi kepala daerah. Sebagai contoh, Gusti Randa sempat mengincar posisi kepala daerah di Padang, walau akhirnya mengundurkan diri dari pencalonannya karena kekurangan pendukung. Primus Yustisio baru saja mendaftar menjadi calon Bupati Subang.

Sedikitnya, jumlah artis yang mencalonkan diri untuk menjadi kepala daerah tentunya bisa menimbulkan kesan negatif di mata masyarakat. Publik bisa menilai bahwa para artis sebenarnya kurang percaya diri dalam mengatur suatu pemerintah daerah sehingga harus dipasangkan oleh seseorang yang memang mempunyai pengalaman dalam bidang administrasi publik. Pada akhirnya, hal ini dikhawatirkan akan berimplikasi negatif terhadap reputasi para artis itu sendiri.

Perlu diketahui bahwa para artis yang menjadi kepala pemerintah di negara lain banyak yang terbilang sukses. Misalnya, walau terlibat masalah korupsi dan perjudian, Presiden Filipina Estrada termasuk seorang politikus yang berani. Paling tidak ada 46 kamp pelatihan gerilyawan separatis mulsim MILF, termasuk kamp Abu Sayyaf, yang dilumpuhkan pada masa pemerintahannya.

Di Amerika, Gubernur Schwarzenegger baru saja mengesahkan UU untuk mengurangi emisi greenhouse gas di daerahnya ke tingkat tahun 1990, pada tahun 2020. Ia juga mengharuskan semua sekolah negeri di California untuk lebih memperbanyak buah dan sayur-sayuran dalam menu makanannya, sesuai dengan standar nutrisi yang telah ditetapkan. Dan California akan menjadi negara bagian pertama di AS yang melarang restoran untuk menggunakan trans fat (lemak/minyak jenuh) dalam masakannya.

Pada saat dilantik, Presiden Reagan dengan lantang menyatakan, ”Pemerintah bukanlah solusi dari masalah kita; pemerintah itu sendiri adalah masalahnya.” Terobosannya meliputi penurunan pajak, kenaikan pengeluaran militer, kenaikan produk domestik bruto sebesar 3.4% per tahun, dan penambahan 16 juta lapangan pekerjaan, walau akhirnya menimbulkan defisit negara. Ia berpidato di Tembok Berlin, menantang Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev untuk meruntuhkan tembok tersebut. Reagan dinilai berperan penting dalam memenangkan Perang Dingin.

Melarang partisipasi artis di dunia politik Indonesia adalah bertentangan dengan pilar demokrasi. Kehadiran mereka juga tidak melanggar UU yang ada. Oleh karena itu, artis yang ikut pilkada harus bisa membuktikan kalau mereka mempunyai kemampuan untuk memimpin seperti halnya para artis yang terjun ke politik di negara lain. Publiklah yang harus mengawasi kinerja mereka. Sayangnya, mengevaluasi performa para artis dan kontribusi yang mereka berikan untuk daerah adalah suatu hal yang sangat sulit kalau mereka ”hanya” dijadikan wakil kepala daerah. Oleh karena itu, akan lebih baik jika para artis mulai lebih berani dan lebih diberi kesempatan oleh parpol dan masyarakat, untuk maju ke panggung politik sebagai kepala pemerintah daerah, bukan wakil. Hanya dengan demikian publik dapat menilai apakah para artis benar-benar mampu dalam memimpin daerah.

Penulis adalah Kandidat PhD bidang Administrasi Negara dan Kebijakan Publik di Virginia Tech University, AS.

Diambil dari Situs: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0809/03/sh03.html

Indonesian Celebrities Go For Political Seats

September 3, 2008

Diaz Hendropriyono
Washington, DC

The rise of celebrities in the political arena has created a mixed message. While many are against it, mainly because of their lack of political experience, others are willing to give these actors an opportunity to prove themselves. At the executive branch, as it is widely known, actors Rano Karno and Dede Yusuf have been democratically elected as the vice regent of Tangerang, Banten, and deputy governor of West Java, respectively.

Currently, Helmi Yahya is running for deputy governor of South Sumatra and Dicky Chandra for vice regent of Garut, West Java. There are at least two "dangdut" singers running for deputy mayor, Syaiful Jamil in Serang, Banten, and Ayu Soraya in Tegal, Central Java. Additionally, there are indications that Wanda Hamidah, Della Citra and Ikke Nurjanah are eyeing the second-in-command position in the City of Tangerang and the regencies of Serang and Majalengka.

Having celebrities running for a political seat at the executive branch is undoubtedly not a new phenomenon. In the Philippines, actor Joseph Estrada had been the mayor of San Juan before becoming president. Comedian Joey Marquez was the mayor of Paranaque City. The job of chief minister in the Indian provinces of Andhra Pradesh and Tamil Nadu was filled by actors N.T. Rama Rao and M.G. Ramachandran, respectively. Turkish actress Fatma Girik was the mayor of Sisli. Argentine cabaret dancer Isabel Peron replaced her husband as president. Twin child-actors Lech Kaczynski and Jaroslaw Kaczynski were for a year the president and the prime minister of Poland at the same time. And in Russia, actor-comedian Mikhail Yevdokimov was trusted as the governor of the Altai Krai region.

In the United States, actor-producer Sonny Bono, once married to singer Cher, was elected mayor of Palm Springs, California; TV host Jerry Springer was mayor of Cincinnati, Ohio; "Dirty Harry" star Clint Eastwood was mayor of Carmel, California; singer Jimmie Davies was governor of Louisiana and World Wrestling Federation star Jesse Ventura was mayor of Brooklyn Park, Minnesota, as well as governor. As was more popularly known, actor Ronald Reagan was elected governor of California before becoming the U.S. president. And presently, actor-bodybuilder Arnold Schwarzenegger is in his second term as governor of California.

In some cases, celebrities' popularity is not always enough to get them elected. For example, Filipino actor Fernando Poe, Jr. lost the presidential election to incumbent Gloria Macapagal-Arroyo. Beverly Hills Cop star Gill Hill failed in his bid to become the mayor of Detroit, Michigan. Italian adult movie star Ilona Staller was unsuccessful in her run for the mayor of Milan. And more recently, TV star Fred Thompson withdrew his candidacy for U.S. president after losing in the primary election. In Indonesia, running for deputy governor of Banten, Marissa Haque lost the provincial election. Didin Bagito even decided to pull out from his candidacy for deputy mayor of Serang before the election for lack of public support.

Although there are celebrities running for political offices in other countries such as what is found in Indonesia, there is still one notable difference: The majority of Indonesian celebrities seem reluctant to run for local executive head and are more comfortable to be number two. Among the many who participate in the race, only a few run for the first-in-command posts. Although unsuccessful, Gusti Randa ran for mayor of Padang, and Primus Yustisio is now running for the regent of Subang.

The small number of celebrities who run for regional head may create negative impressions. The public may judge that these actors do not have the confidence to manage a government, thus they need to be coupled with someone who has experience in public administration and policy. Doubtless, this will eventually hurt the artists' reputations.

It should be remembered that there are many actor-politicians who have had some accomplishments during their administration. For instance, although the court found him guilty of plunder before finally being pardoned by the current president, some still consider former president Estrada a success. At least 46 Moro Islamic Liberation Front secessionist camps, including that of Abu Sayyaf, were overrun during his time in office.

California Governor Schwarzenegger recently signed landmark legislation to reduce carbon emissions to 1990 levels by the year 2020. He also banned the sale of sodas in schools and set a stricter nutritional standard which required more fruits and vegetables in meal planning. And California will be the first state in the nation to ban the use of trans-fat oils in restaurants.
In his first inaugural address, former U.S. president Reagan boldly preached: "Government is not the solution to our problems; government is the problem." During his presidency, he reduced income tax rates, increased GDP by 3.4 percent annually, created more than 16 million new jobs and increased military spending -- although at the end, left his government with a huge deficit. Many even think he deserves credit for ending the Cold War.

To forbid Indonesian celebrities from entering politics is to go against the pillars of democracy. Their participation does not violate any law either. Hence, celebrities who take part in district head elections must prove themselves capable of managing a government administration and creating public policies, such as those movie stars in other countries. It is then the public's duty to evaluate their performance. However, evaluating their contribution to the public seems difficult when these celebrities are "only" elected as second-in-command. Thus, celebrities must be emboldened to run for, and political parties need to support them as regional heads, not deputies. Only by doing so will the public know whether or not these celebrities can truly govern.

The writer is PhD Candidate at the Center for Public Administration and Policy, Virginia Tech University. He can be reached at d_hendropriyono@yahoo.com

Taken From: http://www.thejakartapost.com/news/2008/09/03/indonesian-celebrities-go-political-seats.html

Implikasi Konflik di Georgia dan Impeachment Musharraf Terhadap AS

12 Agustus 2008

Diaz Hendropriyono
Washington, DC

Perang di Georgia

Pada saat Olimpiade berlangsung di Beijing, Russia memulai agresi militer ke wilayah Ossetia Selatan di Georgia, dimana pasukan Georgia telah melancarkan serangan kejutan di kota Tskhvinkali beberapa hari sebelumnya untuk meredam gerakan separatis yang berusaha untuk memisahkan diri secara penuh dari Georgia. Konflik bersenjata tersebut paling tidak telah memakan 2,000 korban, memaksa ratusan ribu warga sipil meninggalkan rumah mereka, dan sekitar 34,000 mengungsi ke Vladikavkaz, Russia. Invasi Russia meliputi serangan darat dengan tank yang menghancurkan beberapa kota termasuk Gori di Georgia tengah, dan serangan udara dengan jet tempur yang menenggelamkan kapal selam Georgia di Laut Hitam dan membombardir pabrik yang memproduksi pesawat tempur Sukhoi SU-25 di pinggiran ibukota Tbilisi. Dengan segera, Russia memperluas serangan militernya ke kota Senaki di Georgia melalui Abkhazia di baratlaut, sebuah wilayah lain yang juga ingin melepaskan diri dari kekuasaan Georgia. Seperti penduduk Ossetia Selatan, mayoritas penduduk Abkhazia adalah pemegang paspor Russia.

Russia juga menyerang perekonomian Georgia dengan cara memblokade dan merusak beberapa pelabuhan di Laut Hitam, termasuk Poti, yang digunakan sebagai tempat transit untuk mengangkut sekitar 500,000 barrel minyak mentah (crude oil) setiap harinya ke pasar-pasar barat. Lebih lanjut, Russia berusaha menghancurkan saluran pipa miyak Baku-Tbilisi-Ceyhan yang mengirim sekitar 900,000 barrel minyak dari Azerbaijan ke Turkey, via Georgia. Dan dalam waktu tiga hari, hampir seluruh wilayah Georgia telah di kuasai Russia.

Presiden Georgia Mikheil Saakashvili yang pro barat mengatakan bahwa sebuah proses penyerbuan, pendudukan, dan pembinasaan sedang berlangsung di negara yang berdaulat dan demokratis. Pertempuran ini pun mendapatkan reaksi keras dari dunia internasional. Presiden Amerika Serikat George W. Bush mendesak Russia untuk menghentikan aksi militernya, dan menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan Georgia untuk kembali ke status quo tanggal 6 Agustus. Presiden Prancis Nikolas Sarkozy, dalam kapasitasnya sebagai Presiden Uni Eropa, langsung berkunjung ke Moskow dan Tbilisi untuk misi perdamaian. Presiden Lithuania, Polandia, Ukrania, dan Perdana Menteri Latvia dan Estonia juga akan terbang ke Tbilisi untuk memberikan dukungan kepada Georgia. Dukungan lain datang dari para Menlu negara-negara G7. Pada akhirnya, setelah memporak-porandakan Georgia dan mendapatkan kecaman keras dari dunia internasional, Russia menghentikan serangan militernya.

Musharraf Terancam Impeachment

Beralih ke Pakistan. Pakistan adalah sebuah negara sekutu Amerika yang lain, yang juga sedang mengalami kesulitan. Presiden pro-barat Pervez Musharraf saat ini terancam pencabutan jabatan. Koalisi partai yang berkuasa sejak pemilu Februari, Partai Rakyat Pakistan pimpinan Asif Ali Zardari, Partai Liga Muslim (N) pimpinan Nawaz Sharif, dan beberapa partai kecil lainnya, sepakat untuk mengajukan impeachment terhadap Musharraf di Parlemen. Mereka menuding bahwa Musharraf telah melanggar konsitusi, menyalah gunakan jabatannya, dan bertanggung jawab atas krisis ekonomi, dengan nilai inflasi mencapai 20%, krisis listrik, dan makanan. Dibutuhkan paling tidak 2/3 suara dari majelis rendah (national assembly) dan majelis tinggi (senate) di parlemen untuk melakukan pemecatan terhadap presiden. Yakin akan mendapatkan lebih dari 295 suara yang dibutuhkan untuk melaksanakan pemakzulan, partai koalisi mendesak Musharraf untuk segera turun dari jabatannya sebelum dipermalukan oleh proses impeachment yang belum pernah terjadi dalam sejarah Pakistan. Terlebih lagi, empat provinsi di Pakistan (Punjab, Baluchistan, Sindh, dan North West Frontier) dipastikan akan menyerukan mosi tidak percaya dalam waktu dekat, dimana resolusi tersebut akan menambah tekanan politik terhadap Musharraf untuk mundur. Berdasarkan konstitusi, Musharraf sebenarnya bisa membubarkan parlemen, atau menyatakan negara dalam keadaan darurat, walaupun hal ini akan menjadi sesuatu yang sangat kontroversial. Pilihan yang lebih “demokratis” yaitu dengan membela diri dan melawan proses impeachment di parlemen.

Popularitas Musharraf sebenarnya sudah mengalami penurunan drastis sejak tahun lalu saat ia memecat seorang hakim agung dan 60 hakim lainnya karena menolak perpanjangan masa jabatan presiden. Pemberlakuan state of emergency pada November lalu, penahanan ribuan politisi dan pengacara oposisi, serta penutupan saluran-saluran televisi swasta terus mengikis popularitas Musharraf. Pada Februari tahun ini, sebelum digelarnya pemilu legislatif, tingkat kepuasan publik pada pemerintahan Musharraf berada di tingkat terendah, yaitu 15%.

Implikasi Terhadap Pengaruh AS

Situasi di kedua negara sekutu dekat AS ini tentu berimplikasi buruk terhadap AS. Pemecatan terhadap Musharraf dan kemugkinan pergantian pemerintahan Saakashvili akan megurangi pengaruh AS di Timur Tengah dan Eropa. Belakangan ini, Georgia telah membina hubungan baik dengan AS. Tahun lalu, pada saat negara-negara lain menarik pasukannya dari Iraq, Georgia menambah jumlah pasukannya di Iraq, sebagai bukti dukungan untuk AS. Dengan demikian, Georgia adalah negara ketiga yang mempunyai jumlah pasukan terbanyak di Iraq setelah AS dan Inggris. Dengan dukungan AS, Georgia berambisi untuk menjadi anggota NATO dan Uni Eropa, dan berkeinginan untuk me-reintegrasi tiga wilayah separatis, Abkhazia, Ajara dan Ossetia Selatan, suatu kebijakan yang di tentang keras oleh Russia. Hal ini tentu menambah perhatian AS terhadap Georgia. Paling tidak, AS telah mendanakan $64 juta untuk melatih dan mempersenjatakan tentara Georgia untuk melawan al-Qaeda di perbatasan Russia-Chechnya dan mempersiapkan pasukan Georgia untuk mengatasi situasi di Iraq.

Seperti diketahui, perang Iraq telah membuat reputasi AS di negara-negara Eropa menurun drastis, khususnya di Prancis dan Jerman. Bahkan polling terakhir di Inggris, sekutu kuat AS di Eropa, menunjukkan hanya 33% responden yang mempunyai opini baik terhadap AS. Pengaruh AS di Eropa mulai berkurang dengan turunnya beberapa pemimpin negara-negara sekutu AS di Eropa beberapa saat lalu, seperti Jose Aznar di Spanyol, Jose Barroso di Portugal, dan Silvio Berlusconi yang sempat turun dari kursi PM di Italia. Banyak juga tekanan-tekanan publik dari dalam negeri di Ceko, Polandia, dan Hungaria yang mendesak pemerintahannya untuk lebih mendekatkan diri ke Prancis dan Jerman daripada AS. Menghilangnya Saakashvili dari panggung politik akan meninggalkan AS dengan sekutu-sekutu kecil seperti Latvia, Lithuania, dan Estonia.

Begitu juga yang terjadi di Pakistan, yang merupakan sekutu penting AS, khususnya dalam memerangi terorisme. Pakistan, yang sejak 2001 telah menerima bantuan AS senilai lebih dari $10 milyar, dianggap berkontribusi banyak terhadap suskesnya “Perang Melawan Terrorisme” yang di usung AS. Lebih dari 750 anggota al-Qaeda berhasil ditangkap/dibunuh di wilayah Pakistan, termasuk tokoh penting seperti Khalid Sheikh Mohammed dan Ramzi bin Alshibh yang di serahkan ke AS. Sayangnya, performa Musharraf dalam memerangi al-Qaeda dan Taliban dinilai menurun sejak dirinya dilanda kesulitan politik belakangan ini. Walaupun demikian, pemakzulan Musharraf merupakan suatu hantaman keras untuk kekuatan AS di wilayah tersebut.

Mengamati perkembangan di atas, AS seharusnya lebih berani lagi untuk membela kedua kepala negara yang sedang mengalami kesulitan. Pengutukan dan rasa keprihatinan yang di sampaikan melalui media tidaklah cukup untuk mempertahankan kedua sekutu penting yang sudah lama membantu AS. Mungkin sudah waktunya bagi AS untuk membalas budi.

Penulis adalah Kandidat PhD bidang Administrasi Negara dan Kebijakan Publik di Virginia Tech University, AS.

Realita Penundaan RUU Kamnas

25 Agustus 2008
Diaz Hendropriyono
Washington, DC

Dua Perdebatan Utama dalam RUU Kamnas

Naskah Rancangan Undang Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) yang sekarang sedang dikaji oleh Lemhanas masih memicu kontroversi yang berkelanjutan. Perdebatan pertama dalam naskah RUU yang mulanya di susun oleh Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan pada awal 2007 ini terletak pada keinginan Dephan untuk mereposisi Kepolisian Republik Indonesia dibawah satu departemen setingkat menteri. POLRI, yang pisah dari TNI sejak tahun 2000 berdasarkan Tap MPR No VI/2000, terus bersikap keras menolak RUU yang dinilai akan menghambat efektivitas institusi sipil tersebut. Perdebatan lainnya, RUU Kamnas di anggap akan mengembalikan paradigma lama dengan melebur sistem pertahanan dan keamanan negara, dimana tanggung jawab keamanan nasional di emban bersama-sama oleh POLRI dan TNI. Padahal, seperti di ketahui, UU No 2 Tahun 2002 dan UU No 34 Tahun 2004 telah membagi fungsi POLRI sebagai penjaga keamanan dan TNI sebagai kekuatan pertahanan. Selain itu, keterlibatan TNI dalam bidang keamanan di khawatirkan akan membuka peluang pelanggaran HAM oleh militer, seperti yang terjadi di zaman Orde Baru.

Paling tidak ada 35 dari 70 pasal dari naskah RUU Kamnas yang menimbulkan polemik. Misalkan, pasal 22 ayat 6 memperbolehkan penggunaan militer dalam menjaga keamanan pada saat keadaan darurat sipil. Pasal 61 ayat 1 menyebutkan bahwa TNI dapat diperbantukan untuk mengatasi aksi mogok masal, konflik komunal, dan dampak bencana alam. Pasal 63 ayat 1 berbunyi kurang lebih, dalam situasi genting yang mengancam keamanan insani dan publik, dan jika unsur keamanan nasional lainnya tidak mampu mengatasi situasi genting tersebut, maka TNI dapat digunakan untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan. Selanjutnya, pasal 17 ayat 1 dan pasal 21 ayat 1 berbunyi bahwa penanganan keamanan nasional harus ditempatkan dibawah tanggung jawab menteri urusan dalam negeri.

Penolakan POLRI

RUU Kamnas, yang sudah di sosialisasikan sebanyak paling tidak enam putaran, termasuk di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), sudah tentu mengancam kemandirian POLRI. Kalangan penolakpun berdalih, kemandirian POLRI menyangkut masalah historis. Sebelum di masukannya POLRI di bawah kementrian pada tahun 1961 sampai 1999, berdasarkan PP No. 11 D Tahun 1946, POLRI pernah menjadi lembaga independen setingkat departemen langsung di bawah Perdana Menteri (1946-1950) dan di bawah Perdana Menteri/Menteri Utama (1950-1959). Sehingga, mereka menilai bahwa independensi POLRI bukanlah suatu hal yang baru, dan seharusnya dapat diterima oleh semua kalangan termasuk Dephan.

Alasan Dephan Mendukung RUU Kamnas

Walau demikian, ada beberapa alasan penting untuk mendukung RUU Kamnas. Misalkan, dosen Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia yang juga mantan anggota POLRI, Bambang Widodo Umar, mengingatkan tentang pentingnya RUU Kamnas karena UU tentang Kepolisian (UU No 2 Tahun 2002) sudah mendahului UU Keamanan Nasional. Hal ini berbeda dengan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI yang dibuat setelah UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan.

Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan perlunya penyelarasan kesimpang-siuran UU mengenai pertahanan dan keamanan, yaitu UU No 2/2002 tentang Kepolisian, UU No 3/2002 tentang Pertahanan, dan UU No 34/2004 tentang TNI. Ketiga UU ini telah menimbulkan multitafsir, khususnya terkait kewenangan TNI dalam bidang keamanan nasional. Dengan demikian harus ada UU lain yang lebih memperjelas kewenangan TNI tersebut.

Menhan melanjutkan bahwa keterlibatan TNI dalam menjaga keamanan negara masih sangat diperlukan, dalam konteks arti keamanan yang cukup luas. Dengan kata lain, domain keamanan bukanlah hanya milik POLRI. Dengan ini, RUU Kamnas hendaknya tidak dilihat sebagai upaya untuk kembali mencampur adukkan fungsi TNI dan POLRI dibawah HanKam seperti pada zaman Orde Baru. Struktur kedua lembaga tetap terpisah, tetapi dalam menjalankan tugas dan fungsi harus selaras dan bisa bersatu. Dan realitanya, banyak kasus-kasus yang membutuhkan kehadiran TNI dengan segera.

Pasca kerusuhan 22 Januari 2007, ratusan personel TNI, sebagai aparat penegak hukum dan penjaga keamanan (non-militer), dikerahkan untuk membantu POLRI memburu pelaku terror bom dan pembunuhan di Poso. Begitu juga yang terjadi setahun sebelumnya saat TNI di libatkan dalam Operasi Lanto Dago di provinsi Sulawesi Tengah. Pada pertengahan 2006, ribuan personel TNI dan taruna Akademi Militer dikerahkan untuk membantu korban bencana gempa di Yogyakarta. Dan pada tahun yang sama, ratusan personel TNI turut serta dalam pencarian korban hilang akibat tsunami di Pangandaran. Dalam mengamati keterlibatannya, terlihat anggota TNI lebih tanggap, efektif, dan cekatan dalam memenuhi kebutuhan rakyat di daerah konflik atau bencana tersebut.

Alasan lain terkait reposisi POLRI dibawah suatu kementrian. Kewenangan POLRI saat ini sangatlah besar, seperti tertera di Bab III pasal 13 sampai 19 pada UU No 2 Tahun 2002. Karena itu, seperti di utarakan oleh Gubernur Lemhanas Muladi, POLRI sebaiknya berada di bawah kementrian negara untuk mendapat pengawasan.. Hal senada juga di lontarkan oleh Ketua Komisi I DPR RI Theo Sambuaga. Politisi Golkar ini juga berpendapat bahwa payung hukum ini sangat diperlukan untuk menghindari bentrok TNI-POLRI yang sejak dikeluarkannya Tap MPR No VI dan VII Tahun 2000 tentang pemisahan dan fungsi TNI-POLRI, sudah terjadi lebih dari 100 kali dengan memakan korban jiwa.

Mengenai reposisi POLRI, wacana yang berkembang saat ini selain di Depdagri, POLRI dapat di tempatkan di bawah DepHukHam atau di sebuah departemen baru yang menangani urusan keamanan nasional. Ada juga yang mengusulkan dibentuknya semacam Dewan Kepolisian Nasional sebagai lembaga kebijakan yang beranggotakan Kapolri, Menhan, Mendagri, dan MenHukHam. Walau idealnya POLRI di taruh di bawah Depdagri, seperti pada zaman Kapolri pertama Jenderal Soekanto pada tahun 1945, dimanapun insitusi ini di posisikan, sebenarnya bukan masalah yang sangat besar. Intinya, harus ada pengawasan.

Lebih lanjut, berdasarkan pasal 9 UU No 2 Tahun 2002, Kapolri bertindak sebagai pembuat dan penyelenggara kebijakan POLRI. Berbeda dengan TNI, sesuai pasal 3 ayat 2 UU No 34 Tahun 2004, dimana kebijakan pertahanan berada di tangan Dephan. Membiarkan suatu institusi tanpa pengawasan dan berwenang menetapkan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengawasi kebjiakannya sendiri, terlepas apakah insitusi itu politis atau non-politis, merupakan suatu hal yang sebenarnya bertentangan dengan cita-cita reformasi.

Rekomendasi

Penyusunan RUU Kamnas adalah hal yang sangat penting demi tercapainya keamanan nasional. Oleh karena itu dukungan penuh harus diberikan untuk di undang-undang kannya RUU tersebut. Walau demikian, suatu hal yang penting bukan berarti mendesak. Ada beberapa hal yang sebenarnya harus di benahi sebelum disahkannya RUU Kamnas. Hal ini terkait realita politik yang ada saat ini.

Pertama, melalui TAP MPR No 1 Tahun 2003, sebagian besar Ketetapan MPRS/MPR yang dikeluarkan antara 1960 sampai 2002, yang dinilai tidak lagi sesuai dengan tata kehidupan masyarakat sekarang, dinyatakan tidak berlaku lagi. Beberapa Ketetapan masih di pertahankan karena di anggap penting bagi kehidupan berbangsa. TAP MPR No VI Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI, dan TAP MPR No VII Tahun 2000 tentang peran TNI dan POLRI dinyatakan berlaku sampai dikeluarkannya UU terkait. Meskipun demikian, terlihat masih terjadi multi-interpretasi dan kesalah pahaman di masyarakat tentang TAP MPR No 1 Tahun 2003. Ada baiknya menghapus dahulu kedua TAP MPR tentang TNI dan POLRI di sebuah sidang istimewa sebelum melanjutkan penyusunan naskah RUU Kamnas, sekaligus untuk memuluskan proses di undang-undangkannya RUU tersebut.

Kedua, penundaan RUU Kamnas juga ada baiknya mengingat situasi politik dan kondisi masyarakat secara umum sekarang yang tidak stabil dan tidak menentu. Lebih khususnya, hubungan antara TNI dan POLRI. Pemaksaan untuk di selesaikannya RUU Kamnas sebelum pergantian permerintahan tahun depan hanya akan memanaskan rivalitas dan memperbesar konflik di antara kedua lembaga bersenjata ini.

Terakhir, seperti di atur dalam UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pertaturan Perundang-Undangan, bahwa penyusunan dan perancangan RUU—yang merupakan wewenang DPR, DPD, dan Presiden—harus dilakukan berdasarkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Selanjutnya, di dalam program tersebut ditetapkan skala prioritas untuk berbagai RUU yang akan dibahas, dengan memuat program legislasi jangka panjang, menengah, dan pendek. Sayangnya, RUU Kamnas tidak di prioritaskan dalam Prolegnas 2007 dan 2008. Terlebih lagi, berdasarkan evaluasi Badan Legislasi DPR RI, dari 284 RUU yang masuk Prolegnas 2005-2009, baru 104 yang disahkan menjadi undang-undang. Tentunya ini merupakan suatu hambatan dalam proses pengesahan RUU Kamnas.

Dengan berbagai alasan diatas, penundaan untuk di undang-undangkannya RUU Kamnas sampai sesudah pemilu tahun depan adalah suatu pilihan yang tepat, dan yang pasti lebih realistis.

Penulis adalah Kandidat Doktor (PhD) ilmu administrasi negara dan kebijakan publik di Universitas Virginia Tech, Amerika Serikat

Diambil dari Situs: http://suarapembaca.detik.com/read/2008/08/25/170214/994301/471/realita-penundaan-ruu-kamnas